Orang Jawa ternyata sudah memiliki pergaulan
intim dengan sastra dunia sejak abad XIX. Ada sebuah teks sastra saduran dari
Barat yang dipublikasikan di Jawa. Novel legendaris Robinson Crusoe
anggitan Daniel Defoe disadur ke dalam bahasa Jawa oleh Mas Ngabehi Tenaya
dengan judul Lelampahanipoen Robinson Groesoe terbit tahun 1881.
Kehadiran novel saduran ini membuktikan bahwa bahasa Jawa memungkinkan menjadi
medium untuk mengenalkan orang Jawa pada kisah petualangan di negeri-negeri
lain.
Sastra menjadi perantaraan hubungan orang Jawa
dengan dunia internasional. Kesadaran untuk membaca sastra menjadi indikasi
keterbukaan orang Jawa untuk menyerap pengetahuan dan hikmah dari negeri lain.
Pilihan saduran Robinson Crusoe ke bahasa Jawa juga menguatkan dugaan
bahwa proses pembentukan sastra Jawa modern ditentukan oleh relasi kebahasaan,
ilmu pengetahuan, estetika Barat, dan politik kebudayaan kolonial. Publikasi Lelampahinpoen
Robinson Groeso pada abad XIX merupakan sisi lain dari model saduran dalam
bahasa Melayu dengan judul Hikayat Robinson Crusoe (1875) oleh Adolf Von
de Wall dan bahasa Sunda dengan judul Robinson Crusoe (1879) oleh Karta
Winata (Jedamski, 2006: 29).
Model saduran merupakan modal awal dalam
pembentukan sastra Jawa modern karena memiliki kelonggaran pilihan bahasa dan
estetika. Cerita petualangan dipilih mungkin didasarkan pada semangat zaman
saat itu ketika kolonialisme mengajarkan ada interaksi pelbagai negeri dengan
perbedaan dan keunikan. Novel Robinson Crusoe adalah cerita filosofis
mengenai manusia yang terdampar di sebuah pulau. Tokoh ini mesti hidup dengan
segala keterbatasan dan pemakaian akal agar tidak mati. Pencarian makna hidup
dilakukan melalui kesadaran terhadap alam dan kekuasaan adikodrati. Novel ini
kentara memerkarakan eksistensi manusia di dunia. Saduran ke dalam bahasa Jawa
merupakan kejutan meski lebih mengambil tendensi pada sisi petualangan.
Masa awal pembentukan sastra Jawa modern pada
awal abad XX dijelaskan oleh George Quinn (1992: 1) dalam enam kategori: pakem
atau ringkasan prosa cerita wayang kulit, terbitan ilmiah teks berbahasa Jawa,
terjemahan-terjemahan misionaris, traktat-traktat, buku-buku ajar, koran, dan
sastra novelistik berbahasa Belanda, Cina, dan Melayu. Sastra saduran masuk
dalam kriteria terakhir tapi jelas menentukan kecenderungan orientasi sastra
Jawa modern karena memiliki relasi kuat dengan pertumbuhan sastra Melayu, Cina
Peranakan, dan Sunda pada peralihan abad XIX ke abad XX.
Sejarah sastra Jawa modern patut diperiksa
kembali sebelum fakta-fakta historis terlupakan oleh perdebatan tentang nasib
sastra Jawa mutakhir atau keruntuhan sastra-sastra Jawa klasik. Buku Telaaah
Sastra Jawa Modern (1975) susunan Suripan Sadi Hutomo belum menjelaskan
secara detail mengenai proses kelahiran dan pertumbuhan sastra Jawa modern.
Suripan secara ringkas cuma menginformasikan bahwa sastra Jawa modern tumbuh
bebarengan dengan laju pertumbuhan pers di Jawa, pembentukan institusi budaya
dan penerbitan oleh kolonial, dan hubungan-hubungan antara pengarang Jawa
dengan para ahli Jawa dari Belanda secara literer dan bahasa atau administrasi
kolonial.
Memeriksa ulang sejarah sastra Jawa modern bakal
mengingatkan publik mengenai otentisitas sastra Jawa dan proses pendakuan pada
publik Jawa bahwa sastra itu menunjukkan identitas atau sastra itu adiluhung.
Bias kolonial dan pertemuan peradaban Barat-Timur pada abad XIX jelas menjadi
argumentasi kuat bahwa sastra Jawa modern itu lentur dan gampang melakukan
penyesuaian mengacu pada jiwa zaman dan tingkat pengetahuan estetika kalangan
pembaca. Sastra Jawa modern memiliki topangan kuat pada kemunculan kelas elite
intelektual dan proyek pendidikan oleh kolonial.
Peran pers dan Balai Pustaka sering dijadikan
parameter dalam gairah pertumbuhan sastra Jawa. Pemahaman ini memang normatif tapi
terkadang melupakan jalur-jalur alternatif dalam penulisan dan publikasi sastra
Jawa modern di luar garis pemerintah kolonial. Pelacakan mengenai teks-teks
sastra Jawa modern membutuhkan ketekunan sebab dokumentasi pada masa itu masih
belum memadai. Para ahli Jawa pun terus mengalami kesulitan untuk membuat
kronologi sastra Jawa modern mengacu pada pelbagai sumber dan fakta historis.
Perhatian Balai Pustaka pada tahun 1920-an dan
1930-an memang besar dalam mengurusi sastra Jawa. Perhatian itu mungkin tendesius
ketimbang perhatian pada sastra Sunda dan sastra Melayu (Indonesia). Penerbitan
sastra Jawa modern secara kuantitas cukup besar dan mendapati antusiasme dari
kalangan pembaca di pulau Jawa sebagai pusat pembentukan masyarakat literasi.
Novel-novel saduran atau terjemahan pada tahun 1930-an masih jadi andalan dan
melengkapi khzanah penerbitan teks-teks sastra anggitan pengarang Jawa.
Publikasi terjemahan novel Kantjing Lawang
(1932) anggitan J.B.P. Moliere ke dalam bahasa Jawa oleh Soewignja menunjukkan
intensitas hubungan sastra Jawa dengan sastra dunia. Novel ini secara implisit
direstui oleh pemerintah kolonial karena diterbitakan oleh Balai Pustaka. Novel
dari pengarang Prancis itu mengandung satire zaman dan memberi pengetahuan
kritis terhadap dunia nilai di Eropa. Penerjemahan memungkinkan publik pembaca
Jawa sadar terhadap karakter sastra dunia dan lakon kehidupan di negeri-negeri
Eropa. Pertautan dunia nilai juga menjadi medium reflektif bagi pembaca Jawa
mengenai tranformasi peradaban di Timur dalam proyek modernitas dalam
bayang-bayang kuasa kolonialisme. Sastra dalam proyek modernitas menempati
posisi penting karena menjadi representasi lakon manusia dan kehidupan di dunia
modern.
Agenda menyusun sejarah sastra Jawa modern
memang membutuhkan kerja keras dan komitmen besar. Informasi tentang kelahiran
dan pertumbuhan novel Jawa modern harus juga dilengkapi dengan kasus cerpen dan
puisi Jawa modern. Jakob Soemardjo (2004: 104) menganjurkan bahwa diperlukan
pelacakan terhadap cerpen dalam kaitan dengan pertumbuhan dunia pers di Jawa.
Novel saduran atau terjemahan cenderung terbit sebagai buku tapi cerpen dan
puisi mayoritas terbit di koran dan majalah. Embrio dari pemunculan cerpen Jawa
modern terdapat dalam publikasi majalah Sri Poestaka pada tahun
1923. Informasi ini pantas dijadikan modal untuk memikirkan sastra Jawa modern
agar tidak terus ada dalam keminderan dan pesimisme sebab sastra Jawa modern
sejak mula telah intim dalam pergaulan dengan sastra dunia. Begitu.
Solopos (22 Agustus 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar