Laman

Kamis, 23 September 2010

Sastra Jawa Modern dan Sastra Dunia

Bandung Mawardi

Orang Jawa ternyata sudah memiliki pergaulan intim dengan sastra dunia sejak abad XIX. Ada sebuah teks sastra saduran dari Barat yang dipublikasikan di Jawa. Novel legendaris Robinson Crusoe anggitan Daniel Defoe disadur ke dalam bahasa Jawa oleh Mas Ngabehi Tenaya dengan judul Lelampahanipoen Robinson Groesoe terbit tahun 1881. Kehadiran novel saduran ini membuktikan bahwa bahasa Jawa memungkinkan menjadi medium untuk mengenalkan orang Jawa pada kisah petualangan di negeri-negeri lain.
Sastra menjadi perantaraan hubungan orang Jawa dengan dunia internasional. Kesadaran untuk membaca sastra menjadi indikasi keterbukaan orang Jawa untuk menyerap pengetahuan dan hikmah dari negeri lain. Pilihan saduran Robinson Crusoe ke bahasa Jawa juga menguatkan dugaan bahwa proses pembentukan sastra Jawa modern ditentukan oleh relasi kebahasaan, ilmu pengetahuan, estetika Barat, dan politik kebudayaan kolonial. Publikasi Lelampahinpoen Robinson Groeso pada abad XIX merupakan sisi lain dari model saduran dalam bahasa Melayu dengan judul Hikayat Robinson Crusoe (1875) oleh Adolf Von de Wall dan bahasa Sunda dengan judul Robinson Crusoe (1879) oleh Karta Winata (Jedamski, 2006: 29).
Model saduran merupakan modal awal dalam pembentukan sastra Jawa modern karena memiliki kelonggaran pilihan bahasa dan estetika. Cerita petualangan dipilih mungkin didasarkan pada semangat zaman saat itu ketika kolonialisme mengajarkan ada interaksi pelbagai negeri dengan perbedaan dan keunikan. Novel Robinson Crusoe adalah cerita filosofis mengenai manusia yang terdampar di sebuah pulau. Tokoh ini mesti hidup dengan segala keterbatasan dan pemakaian akal agar tidak mati. Pencarian makna hidup dilakukan melalui kesadaran terhadap alam dan kekuasaan adikodrati. Novel ini kentara memerkarakan eksistensi manusia di dunia. Saduran ke dalam bahasa Jawa merupakan kejutan meski lebih mengambil tendensi pada sisi petualangan.
Masa awal pembentukan sastra Jawa modern pada awal abad XX dijelaskan oleh George Quinn (1992: 1) dalam enam kategori: pakem atau ringkasan prosa cerita wayang kulit, terbitan ilmiah teks berbahasa Jawa, terjemahan-terjemahan misionaris, traktat-traktat, buku-buku ajar, koran, dan sastra novelistik berbahasa Belanda, Cina, dan Melayu. Sastra saduran masuk dalam kriteria terakhir tapi jelas menentukan kecenderungan orientasi sastra Jawa modern karena memiliki relasi kuat dengan pertumbuhan sastra Melayu, Cina Peranakan, dan Sunda pada peralihan abad XIX ke abad XX. 
Sejarah sastra Jawa modern patut diperiksa kembali sebelum fakta-fakta historis terlupakan oleh perdebatan tentang nasib sastra Jawa mutakhir atau keruntuhan sastra-sastra Jawa klasik. Buku Telaaah Sastra Jawa Modern (1975) susunan Suripan Sadi Hutomo belum menjelaskan secara detail mengenai proses kelahiran dan pertumbuhan sastra Jawa modern. Suripan secara ringkas cuma menginformasikan bahwa sastra Jawa modern tumbuh bebarengan dengan laju pertumbuhan pers di Jawa, pembentukan institusi budaya dan penerbitan oleh kolonial, dan hubungan-hubungan antara pengarang Jawa dengan para ahli Jawa dari Belanda secara literer dan bahasa atau administrasi kolonial.
Memeriksa ulang sejarah sastra Jawa modern bakal mengingatkan publik mengenai otentisitas sastra Jawa dan proses pendakuan pada publik Jawa bahwa sastra itu menunjukkan identitas atau sastra itu adiluhung. Bias kolonial dan pertemuan peradaban Barat-Timur pada abad XIX jelas menjadi argumentasi kuat bahwa sastra Jawa modern itu lentur dan gampang melakukan penyesuaian mengacu pada jiwa zaman dan tingkat pengetahuan estetika kalangan pembaca. Sastra Jawa modern memiliki topangan kuat pada kemunculan kelas elite intelektual dan proyek pendidikan oleh kolonial.
Peran pers dan Balai Pustaka sering dijadikan parameter dalam gairah pertumbuhan sastra Jawa. Pemahaman ini memang normatif tapi terkadang melupakan jalur-jalur alternatif dalam penulisan dan publikasi sastra Jawa modern di luar garis pemerintah kolonial. Pelacakan mengenai teks-teks sastra Jawa modern membutuhkan ketekunan sebab dokumentasi pada masa itu masih belum memadai. Para ahli Jawa pun terus mengalami kesulitan untuk membuat kronologi sastra Jawa modern mengacu pada pelbagai sumber dan fakta historis.
Perhatian Balai Pustaka pada tahun 1920-an dan 1930-an memang besar dalam mengurusi sastra Jawa. Perhatian itu mungkin tendesius ketimbang perhatian pada sastra Sunda dan sastra Melayu (Indonesia). Penerbitan sastra Jawa modern secara kuantitas cukup besar dan mendapati antusiasme dari kalangan pembaca di pulau Jawa sebagai pusat pembentukan masyarakat literasi. Novel-novel saduran atau terjemahan pada tahun 1930-an masih jadi andalan dan melengkapi khzanah penerbitan teks-teks sastra anggitan pengarang Jawa.
Publikasi terjemahan novel Kantjing Lawang (1932) anggitan J.B.P. Moliere ke dalam bahasa Jawa oleh Soewignja menunjukkan intensitas hubungan sastra Jawa dengan sastra dunia. Novel ini secara implisit direstui oleh pemerintah kolonial karena diterbitakan oleh Balai Pustaka. Novel dari pengarang Prancis itu mengandung satire zaman dan memberi pengetahuan kritis terhadap dunia nilai di Eropa. Penerjemahan memungkinkan publik pembaca Jawa sadar terhadap karakter sastra dunia dan lakon kehidupan di negeri-negeri Eropa. Pertautan dunia nilai juga menjadi medium reflektif bagi pembaca Jawa mengenai tranformasi peradaban di Timur dalam proyek modernitas dalam bayang-bayang kuasa kolonialisme. Sastra dalam proyek modernitas menempati posisi penting karena menjadi representasi lakon manusia dan kehidupan di dunia modern.
Agenda menyusun sejarah sastra Jawa modern memang membutuhkan kerja keras dan komitmen besar. Informasi tentang kelahiran dan pertumbuhan novel Jawa modern harus juga dilengkapi dengan kasus cerpen dan puisi Jawa modern. Jakob Soemardjo (2004: 104) menganjurkan bahwa diperlukan pelacakan terhadap cerpen dalam kaitan dengan pertumbuhan dunia pers di Jawa. Novel saduran atau terjemahan cenderung terbit sebagai buku tapi cerpen dan puisi mayoritas terbit di koran dan majalah. Embrio dari pemunculan cerpen Jawa modern terdapat dalam publikasi majalah Sri Poestaka pada tahun 1923. Informasi ini pantas dijadikan modal untuk memikirkan sastra Jawa modern agar tidak terus ada dalam keminderan dan pesimisme sebab sastra Jawa modern sejak mula telah intim dalam pergaulan dengan sastra dunia. Begitu.

Solopos (22 Agustus 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar