Oleh Fanny Chotimah
Setelah Nazriel ‘Ariel’ Ilham mendekam di penjara, publik dibuat menunggu
keputusan akan penetapan status jadi tersangka atau tidaknya Luna Maya dan Cut
Tari. Melihat masyarakat kita dan kebanyakan media yang bermain di wilayah
dangkal, saya tidak heran jika kasus ini menjadi sangat kontoversial. Fokus
media tampaknya lebih mementingkan nilai jual objek beritanya daripada
kepentingan membela hak-hak sipil masyarakat. Menurut Peter Dahlgren (1992)
kunci dari pemberitaan sebuah informasi yang bisa diterima oleh publik ada dua,
yaitu: The analytic mode yang ditandai oleh referensial informasi dan
kelogisan. Dan Storytelling mode ditandai adanya susunan narasi
yang koheren yang membuat suatu plot cerita. The analytic mode merupakan
prinsip jurnalisme namun pada prakteknya Storytelling mode yang
lebih banyak digunakan. Terbukti jika Storytelling mode cepat sekali
diterima diproduksi berulang-ulang tanpa dikritisi oleh publik. Bagi media tak
perlu bukti atau referensi cukup penyajian yang meyakinkan dibumbui sedikit
imajenasipun tak masalah. Sebuah berita yang tidak bisa dipertanggungjawabkan
kepentingannya sudah tentu tak memberi pencerahan bagi publik. Sehingga reaksi
publik pun menjadi tak masuk akal. Bahkan banyak pihak yang tak ada kaitannya
dengan kasus pun turut menghakimi.
Saya melihat aksi-aksi dibalik kelompok dan individu yang gemar berbicara
tentang moral justru patut dipertanyakan motifnya. Bahkan aksi kekerasan yang
dilakukan kelompok ini mengingatkan saya akan Parabolani sebuah
perkumpulan pemuda kristen di abad ke-4, selain bertugas sebagai relawan yang
mengurus orang renta/ sakit dan menguburkan orang mati. Mereka pun bertugas
sebagai bodyguard untuk uskup yang berkuasa. Parabolani
bersenjatakan batu-batu dalam aksi melakukan kekerasan pada musuhnya. Mereka
mengintimidasi hukum, prajurit keamanan kerajaan dan Dewan pemerintah. Tak
jarang mereka melakukan aksi sepihak dalam menghakimi. Dalam film Agora
(2009) tergambarkan betapa Parabolani yang mempercayai diri mereka
sebagai pasukan kristus melakukan tindakan yang sangat tidak religius.
Melakukan serangan dengan melempari batu pada kaum yahudi yang sedang melakukan
perayaan hari Sabat di sebuah arena terbuka. Lalu menyerang kaum Pagan,
menghancurkan Perpustakaan Besar Alexandria yang kala itu merupakan pusat ilmu
pengetahuan yang menyimpan manuskrip ilmu pengetahuan selama 6 abad. Intimadasi
terus dilakukan terhadap Dewan pemerintah terutama memaksa sang Prefect
(sebutan untuk Gubernur) untuk mengikuti apapun perintah Uskup membelokkan
firman Tuhan dalam kitab suci. Kala itu agama dijadikan semacam pembenaran
untuk melakukan kekerasan dan pembunuhan. Di sini peran negara untuk melindungi
warganya tereduksi. Salah satu Pasal dalam UU Pornografi tentang adanya
partisipasi masyarakat, sangat potensial menjadi sebuah payung hukum untuk
pembenaran melakukan tindakan main hakim sendiri oleh kelompok tertentu demi
kepentingan kelompoknya.
Menyaksikan Luna Maya dan Cut Tari yang
harus mengenakan kerudung untuk datang saat pemeriksaan, saya merasakan
ketakutan seorang perempuan dalam menghadapi preman-preman yang mengatasnamakan
diri mereka sebagai pembela Islam, yang mengancam pihak berwajib untuk segera
menangkap mereka dengan ancaman amuk masa. Saya merasakan ketidakmampuan aparat
hukum dalam menegakkan keadilan dalam proses hukum. Saya merasa seperti berada
kembali di jaman Agora pada abad ke-4 tahun 412. Masa ketika manusia
masih menyangka bumi terletak di pusat semesta. (*)
1 Juli 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar