Laman

Jumat, 17 September 2010

Kepentingan di Balik Hipokrasi


Oleh Fanny Chotimah

            Setelah Nazriel ‘Ariel’ Ilham mendekam di penjara, publik dibuat menunggu keputusan akan penetapan status jadi tersangka atau tidaknya Luna Maya dan Cut Tari. Melihat masyarakat kita dan kebanyakan media yang bermain di wilayah dangkal, saya tidak heran jika kasus ini menjadi sangat kontoversial. Fokus media tampaknya lebih mementingkan nilai jual objek beritanya daripada kepentingan membela hak-hak sipil masyarakat. Menurut Peter Dahlgren (1992) kunci dari pemberitaan sebuah informasi yang bisa diterima oleh publik ada dua, yaitu: The analytic mode yang ditandai oleh referensial informasi dan kelogisan. Dan Storytelling mode ditandai adanya susunan narasi yang koheren yang membuat suatu plot cerita. The analytic mode merupakan prinsip jurnalisme namun pada prakteknya Storytelling mode yang lebih banyak digunakan. Terbukti jika Storytelling mode cepat sekali diterima diproduksi berulang-ulang tanpa dikritisi oleh publik. Bagi media tak perlu bukti atau referensi cukup penyajian yang meyakinkan dibumbui sedikit imajenasipun tak masalah. Sebuah berita yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kepentingannya sudah tentu tak memberi pencerahan bagi publik. Sehingga reaksi publik pun menjadi tak masuk akal. Bahkan banyak pihak yang tak ada kaitannya dengan kasus pun turut menghakimi.
            Saya melihat aksi-aksi dibalik kelompok dan individu yang gemar berbicara tentang moral justru patut dipertanyakan motifnya. Bahkan aksi kekerasan yang dilakukan kelompok ini mengingatkan saya akan Parabolani sebuah perkumpulan pemuda kristen di abad ke-4, selain bertugas sebagai relawan yang mengurus orang renta/ sakit dan menguburkan orang mati. Mereka pun bertugas sebagai bodyguard untuk uskup yang berkuasa. Parabolani bersenjatakan batu-batu dalam aksi melakukan kekerasan pada musuhnya. Mereka mengintimidasi hukum, prajurit keamanan kerajaan dan Dewan pemerintah. Tak jarang mereka melakukan aksi sepihak dalam menghakimi. Dalam film Agora (2009) tergambarkan betapa Parabolani yang mempercayai diri mereka sebagai pasukan kristus melakukan tindakan yang sangat tidak religius. Melakukan serangan dengan melempari batu pada kaum yahudi yang sedang melakukan perayaan hari Sabat di sebuah arena terbuka. Lalu menyerang kaum Pagan, menghancurkan Perpustakaan Besar Alexandria yang kala itu merupakan pusat ilmu pengetahuan yang menyimpan manuskrip ilmu pengetahuan selama 6 abad. Intimadasi terus dilakukan terhadap Dewan pemerintah terutama memaksa sang Prefect (sebutan untuk Gubernur) untuk mengikuti apapun perintah Uskup membelokkan firman Tuhan dalam kitab suci. Kala itu agama dijadikan semacam pembenaran untuk melakukan kekerasan dan pembunuhan. Di sini peran negara untuk melindungi warganya tereduksi. Salah satu Pasal dalam UU Pornografi tentang adanya partisipasi masyarakat, sangat potensial menjadi sebuah payung hukum untuk pembenaran melakukan tindakan main hakim sendiri oleh kelompok tertentu demi kepentingan kelompoknya.
Menyaksikan Luna Maya dan Cut Tari yang harus mengenakan kerudung untuk datang saat pemeriksaan, saya merasakan ketakutan seorang perempuan dalam menghadapi preman-preman yang mengatasnamakan diri mereka sebagai pembela Islam, yang mengancam pihak berwajib untuk segera menangkap mereka dengan ancaman amuk masa. Saya merasakan ketidakmampuan aparat hukum dalam menegakkan keadilan dalam proses hukum. Saya merasa seperti berada kembali di jaman Agora pada abad ke-4 tahun 412. Masa ketika manusia masih menyangka bumi terletak di pusat semesta. (*)

1 Juli 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar