Laman

Kamis, 23 September 2010

Teknologisasi Kehidupan

 
Bandung Mawardi

Masa depan kerap lahir dari fiksi. Imajinasi menjelma ramalan terhadap perubahan dunia. Konstruksi masa depan tak melulu dilambari nalar. Orang memerlukan imajinasi untuk bisa “mengecilkan” dunia dengan telepon, radio, mobil, pesawat, televisi, atau internet. Dunia fiksionalitas ditafsirkan melalui sains dan teknologi untuk membuktikan tentang kuasa imajinasi dalam membentuk dunia.
Teknologisasi kehidupan pada masa lalu mungkin termasuk dalam bid’ah karena harus mencari legitimasi alot dari anutan agama, adat istiadat, atau konservatisisme politik. Sangkalan diajukan dengan keras memakai argumen-argumen kolot: teknologi merusak naluri hidup alamiah,  teknologi memperhamba manusia pada setan, teknologi menodai kesucian agama, atau teknologi membunuh fantasi-imajinasi sakral. Teknologi pada suatu hari adalah “musuh bebuyutan” untuk kelak menjadi idaman.
Kisah penemuan telepon bisa dijadikan acuan reflektif. Publik menganggap telepon adalah alat ke dunia entah berantah. Peristiwa orang berkomunikasi dengan telepon dianggap terkena ilusi setan. Orang-orang kadang menjuluki itu praktik mistik dan menebar wabah kegilaan. Institusi agama juga cemas karena telepon sebagai realisasi nalar-imajinasi seolah mengantarkan manusia pada ketidakmasukakalan normatif dalam formalitas kehidupan.
Masa kelam itu telah usai. Kesadaran atas teknologisasi kehidupan perlahan membuat manusia mafhum tentang progresivitas hidup dengan penemuan dan kehilangan. Konsekuensi teknologi mengajarkan pada manusia tentang kesanggupan manusia mendandani dunia dengan optimistik. Segala tentangan lekas menemukan jawaban dan argumentasi rasional. Dunia pun mengalami keajaiban. Orang bisa melakukan komunikasi beda tempat tanpa harus melakukan mobilitas tubuh. Telepon menjadi berkah dari gelisah manusia untuk “mempertemukan” diri dalam “pengecilan” dunia. Makna ruang berubah dan pemampatan jarak memicu redefinisi diri.

Refleksi
Refleksi teknologis pantas dijadikan orientasi untuk memerkarakan masa lalu dan mengangankan masa depan. Jacques Ellul (1964) mengisahkan  bahwa terbitan l’Express (Paris) edisi 1960 pernah menyuguhkan tulisan-tulisan “ramalan” tentang teknologisasi kehidupan pada tahun 2000. Tulisan-tulisan dari para wartawan, pengarang, ilmuwan, dan ahli teknologi itu melampaui science fiction.  Ramalan memukau untuk kondisi dunia tahun 2000: “Perjalanan ke bulan menjadi hal lumrah.” Ramalan itu memang terbukti. Hari ini orang bisa melancong ke luar angkasa. Teknologi telah membuat manusia sadar dengan nalar-teknologis. Ellul malah mengartikan realisasi teknologi pada abad XX dan XXI melampaui utopia-utopia filosofis. 
Teknologisasi kehidupan pun menjadi kodrat karena pelbagai proyek negara, universitas, atau institusi sains menjadi penopang dari perayaan teknologi. Publik mengalami “kecanduan teknologi” mengacu pada progresivitas hidup dalam kalkulasi kuantitatif dan kualitatif. Hari ini teknologisasi kehidupan malah jadi “nafas keseharian.” Orang rindu dan menantikan kehadiran model teknologi terbaru dari telepon genggam, televisi, mobil, internet, atau komputer. Kemanjaan hidup terbentuk dengan pemberian harga fantastis: “eksistensi diri dan martabat kemanusiaan.”
Kondisi dan konsekuensi teknologisasi kehidupan mesti direfleksikan secara kritis. Filsafat teknologi hadir untuk memberi referensi. M Sastrapratedja menjelaskan bahwa filsafat teknologi hari ini memiliki tiga pendekatan: (1) epistemologis; (2) antropologi; (3) metafisik atau ontologis. Semua pendekatan ini mengurai segala masalah relasi manusia dengan teknologi. Risiko eksistensial pun dijelaskan dengan memerkarakan struktur, kondisi, dan kesahihan teknologi. Teknologi memiliki ciri life-centered (berpusat-pada-kehidupan). Ciri ini menentukan kodrat antropologis untuk menjadikan manusia sebagai manusia tanpa harus menghambakan diri terhadap teknologi. Ranah ontologis menghendaki manusia sadar diri membuat kontruksi-orientatif untuk pemakaian teknologi. Manusia adalah pemilik otoritas dari makna eksistensi dir di hadapan teknologi.

Distansi
Teknologisasi kehidupan hari ini mungkin membuat orang miris karena manusia hampir tak bisa mengelak dari kehadiran teknologi. Fungsionalisasi teknologi kadang membuat manusia lupa dalam urusan materialisasi dan nilai dari kebermaknaan diri. Ketergantungan dan kecanduan membuat manusia kehilangan tautan diri dalam sumber-sumber pemaknaan eksistensialis. Hidup dalam pemanjaan teknologi justru membuat manusia hampir hilang arti karena dunia dikerumuni oleh hasil-hasil teknologi melimpah. Populasi teknologi mungkin kelak bakal menggusur manusia dari kesadaran ruang hidup.
Uraian filsafat dari Don Ihde mengenai relasi manusia-teknologi pantas dijadikan refrensi kesadaran hari ini. Ihde menjelaskan bahwa teknologi memang menjadi fenomena global tapi mesti total. Fakta tentang orang “mengalami dunia” karena teknologi adalah kelumarahan. Ihde justru menghendaki manusia mesti memiliki distansi terhadap teknologi (Francis Lim, 2008: 164165). Distansi ini bakal mengingatkan manusia pada kodrat diri untuk tidak luluh dalam kuasa teknologi. Distansi terbentuk karena dialektika.
Teknologisasi kehidupan mirip takdir. Manusia ada dalam keremangan sebagai subjek atau korban. Kenikmatan dan ekstase teknologi mungkin telah membuat manusia alpa dengan pertaruhan eksistensi diri. Keseharian telah membuat manusia mengikatkan diri dengan teknologi dalam pelbagai agenda hidup: mandi, makan, sekolah, tidur, senggama, atau ibadah. Nasib manusia mungkin bakal ditentukan oleh keberlimpahan teknologi dan persaingan ontologis  dalam pemberian makna eksistensialis. Begitu.              

Suara Merdeka (23 Agustus 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar