Bandung Mawardi
Masa depan kerap lahir dari fiksi. Imajinasi
menjelma ramalan terhadap perubahan dunia. Konstruksi masa depan tak melulu
dilambari nalar. Orang memerlukan imajinasi untuk bisa “mengecilkan” dunia
dengan telepon, radio, mobil, pesawat, televisi, atau internet. Dunia
fiksionalitas ditafsirkan melalui sains dan teknologi untuk membuktikan tentang
kuasa imajinasi dalam membentuk dunia.
Teknologisasi kehidupan pada masa lalu mungkin
termasuk dalam bid’ah karena harus mencari legitimasi alot dari anutan agama,
adat istiadat, atau konservatisisme politik. Sangkalan diajukan dengan keras
memakai argumen-argumen kolot: teknologi merusak naluri hidup alamiah, teknologi memperhamba manusia pada setan,
teknologi menodai kesucian agama, atau teknologi membunuh fantasi-imajinasi
sakral. Teknologi pada suatu hari adalah “musuh bebuyutan” untuk kelak menjadi
idaman.
Kisah penemuan telepon bisa dijadikan acuan
reflektif. Publik menganggap telepon adalah alat ke dunia entah berantah.
Peristiwa orang berkomunikasi dengan telepon dianggap terkena ilusi setan.
Orang-orang kadang menjuluki itu praktik mistik dan menebar wabah kegilaan.
Institusi agama juga cemas karena telepon sebagai realisasi nalar-imajinasi
seolah mengantarkan manusia pada ketidakmasukakalan normatif dalam formalitas
kehidupan.
Masa kelam itu telah usai. Kesadaran atas
teknologisasi kehidupan perlahan membuat manusia mafhum tentang progresivitas
hidup dengan penemuan dan kehilangan. Konsekuensi teknologi mengajarkan pada
manusia tentang kesanggupan manusia mendandani dunia dengan optimistik. Segala
tentangan lekas menemukan jawaban dan argumentasi rasional. Dunia pun mengalami
keajaiban. Orang bisa melakukan komunikasi beda tempat tanpa harus melakukan
mobilitas tubuh. Telepon menjadi berkah dari gelisah manusia untuk
“mempertemukan” diri dalam “pengecilan” dunia. Makna ruang berubah dan
pemampatan jarak memicu redefinisi diri.
Refleksi
Refleksi teknologis pantas dijadikan orientasi
untuk memerkarakan masa lalu dan mengangankan masa depan. Jacques Ellul (1964)
mengisahkan bahwa terbitan l’Express
(Paris) edisi 1960 pernah menyuguhkan tulisan-tulisan “ramalan” tentang
teknologisasi kehidupan pada tahun 2000. Tulisan-tulisan dari para wartawan,
pengarang, ilmuwan, dan ahli teknologi itu melampaui science fiction. Ramalan memukau untuk kondisi dunia tahun
2000: “Perjalanan ke bulan menjadi hal lumrah.” Ramalan itu memang terbukti.
Hari ini orang bisa melancong ke luar angkasa. Teknologi telah membuat manusia
sadar dengan nalar-teknologis. Ellul malah mengartikan realisasi teknologi pada
abad XX dan XXI melampaui utopia-utopia filosofis.
Teknologisasi kehidupan pun menjadi kodrat
karena pelbagai proyek negara, universitas, atau institusi sains menjadi
penopang dari perayaan teknologi. Publik mengalami “kecanduan teknologi”
mengacu pada progresivitas hidup dalam kalkulasi kuantitatif dan kualitatif.
Hari ini teknologisasi kehidupan malah jadi “nafas keseharian.” Orang rindu dan
menantikan kehadiran model teknologi terbaru dari telepon genggam, televisi,
mobil, internet, atau komputer. Kemanjaan hidup terbentuk dengan pemberian
harga fantastis: “eksistensi diri dan martabat kemanusiaan.”
Kondisi dan konsekuensi teknologisasi kehidupan
mesti direfleksikan secara kritis. Filsafat teknologi hadir untuk memberi
referensi. M Sastrapratedja menjelaskan bahwa filsafat teknologi hari ini
memiliki tiga pendekatan: (1) epistemologis; (2) antropologi; (3) metafisik
atau ontologis. Semua pendekatan ini mengurai segala masalah relasi manusia
dengan teknologi. Risiko eksistensial pun dijelaskan dengan memerkarakan
struktur, kondisi, dan kesahihan teknologi. Teknologi memiliki ciri life-centered
(berpusat-pada-kehidupan). Ciri ini menentukan kodrat antropologis untuk
menjadikan manusia sebagai manusia tanpa harus menghambakan diri terhadap
teknologi. Ranah ontologis menghendaki manusia sadar diri membuat
kontruksi-orientatif untuk pemakaian teknologi. Manusia adalah pemilik otoritas
dari makna eksistensi dir di hadapan teknologi.
Distansi
Teknologisasi kehidupan hari ini mungkin membuat
orang miris karena manusia hampir tak bisa mengelak dari kehadiran teknologi.
Fungsionalisasi teknologi kadang membuat manusia lupa dalam urusan
materialisasi dan nilai dari kebermaknaan diri. Ketergantungan dan kecanduan
membuat manusia kehilangan tautan diri dalam sumber-sumber pemaknaan
eksistensialis. Hidup dalam pemanjaan teknologi justru membuat manusia hampir hilang
arti karena dunia dikerumuni oleh hasil-hasil teknologi melimpah. Populasi
teknologi mungkin kelak bakal menggusur manusia dari kesadaran ruang hidup.
Uraian filsafat dari Don Ihde mengenai relasi
manusia-teknologi pantas dijadikan refrensi kesadaran hari ini. Ihde
menjelaskan bahwa teknologi memang menjadi fenomena global tapi mesti total.
Fakta tentang orang “mengalami dunia” karena teknologi adalah kelumarahan. Ihde
justru menghendaki manusia mesti memiliki distansi terhadap teknologi (Francis
Lim, 2008: 164165). Distansi ini bakal mengingatkan manusia pada kodrat diri
untuk tidak luluh dalam kuasa teknologi. Distansi terbentuk karena dialektika.
Teknologisasi kehidupan mirip takdir. Manusia
ada dalam keremangan sebagai subjek atau korban. Kenikmatan dan ekstase
teknologi mungkin telah membuat manusia alpa dengan pertaruhan eksistensi diri.
Keseharian telah membuat manusia mengikatkan diri dengan teknologi dalam
pelbagai agenda hidup: mandi, makan, sekolah, tidur, senggama, atau ibadah.
Nasib manusia mungkin bakal ditentukan oleh keberlimpahan teknologi dan
persaingan ontologis dalam pemberian
makna eksistensialis. Begitu.
Suara Merdeka (23 Agustus 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar