Benedict Anderson pernah mengeluh karena publik
susah mencari novel ganjil dengan judul Indonesia dalem Api dan Bara
(1947). Novel ini mengisahkan tentang geliat revolusi dan resah rasistik dengan
latar di Surabaya dan Malang. Latar waktu pada masa akhir pemerintahan kolonial
Belanda. Anderson menganggap novel ini pantas jadi acuan reflektif untuk
mengimajinasikan Indonesia dan mencari letak dalam historiografi politik
Indonesia. Novel garapan Tjamboek Berdoeri ini eksplisit memakai judul dengan
memakai kata Indonesia. Judul memang terkesan provokatif dan lekas membuai
pembaca dengan pemunculan imajinasi tentang Indonesia.
Indonesia dalem Api dan Bara jadi suguhan ke publik usai Anderson menemukan
novel itu di Jakarta (1962). Inilah celotehan Anderson (2009) mengenai
kehebatan Tjamboek Berdoeri: “Jang sungguh2 menakdjubkan adalah keunggulan
serta keanekaragaman gaja prosanja, jang oleh Pramoedya Ananta Toer sulit
ditandingi.” Tjamboek Berdoeri juga dilimpahi pujian: “Dia seperti mengarang
dalam suatu bahasa indah tanpa nama.”
Penilaian ini mungkin hiperbolik ala “pembaca
Indonesia” dengan gairah petualangan dalam hutan “rimbun-kata”. Anderson dalam
urusan ini memiliki peran untuk mengingatkan kembali pada mekanisme imajinasi
pembaca atas Indonesia. Pembacaan novel mungkin bakal menggairahkan ketimbang
suntuk dengan sekian jilid buku sejarah standar: Sejarah Nasional Indonesia.
Novel memiliki hak untuk menempati lahan sejarah tanpa harus dicurigai sebagai
pemutar-balik atau perusak narasi sejarah Indonesia. Imajinasi memerlukan
penghormatan untuk memberi arti atas persaingan klaim kesejarahan atas nama
kekuasaan atau korban.
Nama asli Tjamboek Berdoeri adalah Kwee Thiam
Tjing. Penulis ini lolos dari pendataan dan pembicaraan dalam sejarah sastra
modern di Indonesia. Pengarang sejak mula telah tersingkir dan terabaikan.
Penulis secara ekplisit memberi pesan dalam kata pengantar: “... ini boekoe
sekedar sebagi tjatetan-tjatetan peringetan bagi anak-tjoetjoenja, soepaja
marika itoe poen mengetahoein apa jang perna dalamken oleh orang-orang jang
hidoep di zaman pantjaroba.” Pesan ini mengabur dalam kelam perubahan zaman dan
pelupaan akut oleh pembaca-pembaca sastra atau sejarah.
Produksi
Imajinasi Indonesia sebelum novel Indonesia
dalem Api dan Bara telah disemaikan dalam novel Spionage-Dienst: Pacar
Merah Indonesia (1938) garapan Matu Mona (Hasbullah Parindurie). Novel ini
oleh “pembaca Indonesia” dan “ahli Tan Malaka” mendapati tempat terhormat
sebagai teks untuk mengimajinasikan Indonesia. Harry A Poeze menilai novel ini
merupakan novel petualangan memikat dengan pengisahan spionase, politik, dan
romantika. Indonesia dalam novel ini membuat pembaca mutakhir bisa mengenangkan
tentang geliat ideologi komunis dan impian Indonesia oleh para tokoh
pergerakan. Tan Malaka, Alimin, Muso, Darsono, dan Semaun menjadi ikon dari
pengimajinasian Indonesia dalam novel ala picisan ini.
Dua novel itu telah memberi jejak historis untuk
orang bisa mengenangkan Indonesia masa lampau. Imajinasi mengantarkan pada
pergulatan-pengalaman mendefinisikan tentang Indonesia dalam masa kolonial dan
kemerdekaan. Indonesia ada dalam novel-novel itu kendati hadir dalam produksi
imajinasi. Puluhan tahun novel-novel itu diam tanpa pembaca dan tafsiran. Hari
ini novel Indonesia dalem Api dan Bara dan Pacar Merah Indonesia seolah
jadi pemantik untuk proyek mengimajinasikan Indonesia dengan gairah bahasa dan
tak terjinakkan oleh pembakuan sejarah. Imajinasi mungkin membuat Indonesia tumbuh
dengan subur.
Pelacakan atas imajinasi Indonesia diperlukan
untuk merefleksikan tentang pasang surut pemaknaan Indonesia dalam cengekraman
politik dan ekonomi. Novel mungkin menyelamatkan kepemilikan dan pengalaman
atas Indonesia. Kondisi ini mirip dengan penjelasan-penjelasan kritis oleh
Simon Philpot dalam Rethingking Indonesia: Postcolonial Theory,
Authoritarianism, and Identity (2000). Philpot menerangkan bahwa ada sekian
teks hegemonik tentang pembacaan Indonesia. Teks-teks itu memiliki kuasa pemaknaan
dan kerap menjadi rezim dari prosedur merekonstruksi Indonesia. Kehadiran
teks-teks hegemonik membuat imajinasi Indonesia tersingkirkan dengan tangisan
dan luka.
Teks
Imajinasi Indonesia memang kalah dengan dominasi
pembacaan akedemik dan produksi teks tentang pelbagai hal dalam sorotan
kolonial atau historiografi indonesiasentris. Sastra hampir tak mendapati ruang
dalam pembacaan. Imajinasi menguap oleh fakta-fakta melimpah dengan persaingan
tafsir dan klaim kesahihan. Indonesia pun menjelma “laboratorium teori dan
konklusi.” Kemiskinan imajinasi membuat Indonesia kehilangan darah dan gairah
untuk membuat orang merasa memiliki atau mengalami. Ironi ini kentara bukan
jadi urusan genting oleh negara.
Sastra sebagai rumah imajinasi untuk
pengolahan-pertumbuhan bahasa mengalami diskriminasi. Indonesia seolah lahir
karena produksi teks dari rumah sejarah, politik, ekonomi, atau pendidikan. Imajinasi Indonesia seperti
ambisi mengembalikan diri pada pencairan atas pembakuan oleh konstitusi,
institusi politik, dan rezim kekuasaan. Imajinasi memberi jalan pembebasan
tanpa harus tunduk pada rumusan-rumusan formal demi pemartabatan Indonesia.
R.E. Elson dalam The Idea of Indonesia (2008)
mengingatkan: “Sebelum abad XX, Indonesia belum ada, dan karena itu orang
Indonesia pun belum ada.” Pernyataan ini memaksa orang untuk menelisik proses
proyek membetuk Indonesia dan kelahiran manusia Indonesia. Legitimasi politis
tentang pembentukan Indonesia sebagai negara pada 1945 tidak mencukupi
kepentingan orang mengalami Indonesia dan merasai-menjadi Indonesia. Indonesia
sebagai gagasan ditelususi oleh Elson melalui teks-teks antropologi, geografi,
politik, ekonomi, dan sejarah. Imajinasi masih mengering dan mampat. Sastra
sebagai ruang persemaian untuk imajinasi Indonesia terasingkan dan terlupakan.
Kondisi ini membuat Indonesia hampir jadi “teks tertutup” tanpa gelimang
imajinasi dan gairah tafsiran. Begitu.
Radar Surabaya (22 Agustus 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar