Laman

Kamis, 23 September 2010

Imajinasi Indonesia


Bandung Mawardi

Benedict Anderson pernah mengeluh karena publik susah mencari novel ganjil dengan judul Indonesia dalem Api dan Bara (1947). Novel ini mengisahkan tentang geliat revolusi dan resah rasistik dengan latar di Surabaya dan Malang. Latar waktu pada masa akhir pemerintahan kolonial Belanda. Anderson menganggap novel ini pantas jadi acuan reflektif untuk mengimajinasikan Indonesia dan mencari letak dalam historiografi politik Indonesia. Novel garapan Tjamboek Berdoeri ini eksplisit memakai judul dengan memakai kata Indonesia. Judul memang terkesan provokatif dan lekas membuai pembaca dengan pemunculan imajinasi tentang Indonesia. 
Indonesia dalem Api dan Bara jadi suguhan ke publik usai Anderson menemukan novel itu di Jakarta (1962). Inilah celotehan Anderson (2009) mengenai kehebatan Tjamboek Berdoeri: “Jang sungguh2 menakdjubkan adalah keunggulan serta keanekaragaman gaja prosanja, jang oleh Pramoedya Ananta Toer sulit ditandingi.” Tjamboek Berdoeri juga dilimpahi pujian: “Dia seperti mengarang dalam suatu bahasa indah tanpa nama.”
Penilaian ini mungkin hiperbolik ala “pembaca Indonesia” dengan gairah petualangan dalam hutan “rimbun-kata”. Anderson dalam urusan ini memiliki peran untuk mengingatkan kembali pada mekanisme imajinasi pembaca atas Indonesia. Pembacaan novel mungkin bakal menggairahkan ketimbang suntuk dengan sekian jilid buku sejarah standar: Sejarah Nasional Indonesia. Novel memiliki hak untuk menempati lahan sejarah tanpa harus dicurigai sebagai pemutar-balik atau perusak narasi sejarah Indonesia. Imajinasi memerlukan penghormatan untuk memberi arti atas persaingan klaim kesejarahan atas nama kekuasaan atau korban.
Nama asli Tjamboek Berdoeri adalah Kwee Thiam Tjing. Penulis ini lolos dari pendataan dan pembicaraan dalam sejarah sastra modern di Indonesia. Pengarang sejak mula telah tersingkir dan terabaikan. Penulis secara ekplisit memberi pesan dalam kata pengantar: “... ini boekoe sekedar sebagi tjatetan-tjatetan peringetan bagi anak-tjoetjoenja, soepaja marika itoe poen mengetahoein apa jang perna dalamken oleh orang-orang jang hidoep di zaman pantjaroba.” Pesan ini mengabur dalam kelam perubahan zaman dan pelupaan akut oleh pembaca-pembaca sastra atau sejarah.

Produksi
Imajinasi Indonesia sebelum novel Indonesia dalem Api dan Bara telah disemaikan dalam novel Spionage-Dienst: Pacar Merah Indonesia (1938) garapan Matu Mona (Hasbullah Parindurie). Novel ini oleh “pembaca Indonesia” dan “ahli Tan Malaka” mendapati tempat terhormat sebagai teks untuk mengimajinasikan Indonesia. Harry A Poeze menilai novel ini merupakan novel petualangan memikat dengan pengisahan spionase, politik, dan romantika. Indonesia dalam novel ini membuat pembaca mutakhir bisa mengenangkan tentang geliat ideologi komunis dan impian Indonesia oleh para tokoh pergerakan. Tan Malaka, Alimin, Muso, Darsono, dan Semaun menjadi ikon dari pengimajinasian Indonesia dalam novel ala picisan ini.
Dua novel itu telah memberi jejak historis untuk orang bisa mengenangkan Indonesia masa lampau. Imajinasi mengantarkan pada pergulatan-pengalaman mendefinisikan tentang Indonesia dalam masa kolonial dan kemerdekaan. Indonesia ada dalam novel-novel itu kendati hadir dalam produksi imajinasi. Puluhan tahun novel-novel itu diam tanpa pembaca dan tafsiran. Hari ini novel Indonesia dalem Api dan Bara dan Pacar Merah Indonesia seolah jadi pemantik untuk proyek mengimajinasikan Indonesia dengan gairah bahasa dan tak terjinakkan oleh pembakuan sejarah. Imajinasi mungkin membuat Indonesia tumbuh dengan subur.
Pelacakan atas imajinasi Indonesia diperlukan untuk merefleksikan tentang pasang surut pemaknaan Indonesia dalam cengekraman politik dan ekonomi. Novel mungkin menyelamatkan kepemilikan dan pengalaman atas Indonesia. Kondisi ini mirip dengan penjelasan-penjelasan kritis oleh Simon Philpot dalam Rethingking Indonesia: Postcolonial Theory, Authoritarianism, and Identity (2000). Philpot menerangkan bahwa ada sekian teks hegemonik tentang pembacaan Indonesia. Teks-teks itu memiliki kuasa pemaknaan dan kerap menjadi rezim dari prosedur merekonstruksi Indonesia. Kehadiran teks-teks hegemonik membuat imajinasi Indonesia tersingkirkan dengan tangisan dan luka.

Teks
Imajinasi Indonesia memang kalah dengan dominasi pembacaan akedemik dan produksi teks tentang pelbagai hal dalam sorotan kolonial atau historiografi indonesiasentris. Sastra hampir tak mendapati ruang dalam pembacaan. Imajinasi menguap oleh fakta-fakta melimpah dengan persaingan tafsir dan klaim kesahihan. Indonesia pun menjelma “laboratorium teori dan konklusi.” Kemiskinan imajinasi membuat Indonesia kehilangan darah dan gairah untuk membuat orang merasa memiliki atau mengalami. Ironi ini kentara bukan jadi urusan genting oleh negara.
Sastra sebagai rumah imajinasi untuk pengolahan-pertumbuhan bahasa mengalami diskriminasi. Indonesia seolah lahir karena produksi teks dari rumah sejarah, politik, ekonomi, atau  pendidikan. Imajinasi Indonesia seperti ambisi mengembalikan diri pada pencairan atas pembakuan oleh konstitusi, institusi politik, dan rezim kekuasaan. Imajinasi memberi jalan pembebasan tanpa harus tunduk pada rumusan-rumusan formal demi pemartabatan Indonesia.
R.E. Elson dalam The Idea of Indonesia (2008) mengingatkan: “Sebelum abad XX, Indonesia belum ada, dan karena itu orang Indonesia pun belum ada.” Pernyataan ini memaksa orang untuk menelisik proses proyek membetuk Indonesia dan kelahiran manusia Indonesia. Legitimasi politis tentang pembentukan Indonesia sebagai negara pada 1945 tidak mencukupi kepentingan orang mengalami Indonesia dan merasai-menjadi Indonesia. Indonesia sebagai gagasan ditelususi oleh Elson melalui teks-teks antropologi, geografi, politik, ekonomi, dan sejarah. Imajinasi masih mengering dan mampat. Sastra sebagai ruang persemaian untuk imajinasi Indonesia terasingkan dan terlupakan. Kondisi ini membuat Indonesia hampir jadi “teks tertutup” tanpa gelimang imajinasi dan gairah tafsiran. Begitu.

Radar Surabaya (22 Agustus 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar