Laman

Kamis, 23 September 2010

Sejarah (Politik) Indonesia = Sejarah Buku


Bandung Mawardi

Soekarno moncer sebagai pembaca, penulis, dan orator. Buku dan olah kata identik dengan penguasa Orde Lama ini. Ia meninggalkan setumpuk buku, ia pencatat biografi diri dan Indonesia. Para ahli tak bisa menampik, membaca sejarah (politik) Indonesia adalah membaca tulisan-tulisan Soekarno. Buku Di Bawah Bendera Revolusi, Sarinah, atau Indonesia Menggugat mirip lembaran-lembaran kehidupan manusia dan negeri Indonesia, dari zaman ke zaman, dengan pengekalan bahasa.
Kematian Soekarno bukan kematian buku. Para pembaca yang  fanatik, akademik, atau awam masih menekuni buku-buku Soekarno, jumlah pun bertambah. Sosok dan buku-buku Soekarno juga menginspirasi orang untuk menulis-menerbitkan buku: biografi, memoar, catatan kesaksian, esai obituari, buku persembahan 100 tahun, atau disertasi. Soekarno identik dengan Indonesia, identik dengan buku. Jadi,  Indonesia identik dengan buku.

Buku
Indonesia sebagai negeri buku dijadikan argumentasi bagi Simon Philip (2003) yang menggarap tafsir (sejarah) politik Indonesia melalui buku-buku produksi para ahli Indonesia. Mereka membaca Indonesia, memakai buku-buku tentang Indonesia, tulisan dari orang Indonesia atau pengamat. Garapan ini yang membuat buku-buku Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Muhamad Yamin, Sutan Takdir Alisjahbana, Tan Malaka, atau Mohamad Natsir menjadi sumber-sumber memikat. Philip membuat sebutan atas pembacaan Indonesia oleh para Indonesianis sebagai “teks-teks hegemonik.” Indonesia termaktub dalam buku mereka, seolah mengalihkan dunia politik ala tokoh-tokoh kita dalam buku-buku babon kajian Indonesia, buku yang lahir dari proyek penelitian asing.
Kerja penelitian Philip adalah contoh ironi. Indonesia lahir, berubah, mati dalam buku. Semua ini jadi penanda zaman. Buku-buku warisan tokoh-tokoh kita jadi bukti visioner atas kemauan membayangkan Indonesia masa depan. Indonesia sebagai tema mendekam di buku, mengalir ke bilik-bilik kajian politik, ekonomi, sosial, seni, pendidikan, dan kultural ke penjuru dunia melalui buku. Indonesia adalah dunia buku.
Soekarno sebagai penguasa dan penulis buku seperti meramalkan diri, Indonesia menemukan eksistensi dari olahan kata, hadir dalam format buku. Peran penguasa Orde Lama itu tak tergantikan oleh penguasa Orde Baru. Buku masih jadi medium politik, meski Soeharto bukan pecandu buku atau penulis. Orde Baru malah menempatkan buku sebagai strategi konstruksi politik otoritarianisme. Buku dihadirkan dengan kesemuan demokrasi, sebaran ideologis, penjinakkan massif. Indonesia masih negeri buku, negeri bergelimang pertarungan gagasan dan ideologi. Hegemoni buku jadi modal kekuasaan Orde Baru.

Hegemoni
Krishna Sen dan David K Hill (2001) memakai “argumentasi buku” dalam membaca dan menilai relasi media, budaya, dan politik di Indonesia. Mereka mengungkapkan: “... dunia penerbitan buku merupakan lokus yang signifikan dari globalisasi kehidupan kebudayaa Indonesia selama Orde Baru.” Argumentasi ini jadi pembuka tafsiran atas intervensi politik Orde Baru melalui buku. Pelarangan buku-buku subversif menjadi taktik-politik-licik, memberi akses untuk buku-buku penopang rezim adalah ritual politik, melakukan kontrol dan sensor adalah kegenitan politik. Buku dijadikan seteru dan sekutu oleh Orde Baru melalui kebijakan-kebijakan otoriter. Lakon ini membuat pembacaan Indonesia kerap mengalami kerancuan ketimbang pada masa Orde Lama.
  Produksi buku-buku studi Indonesia kerepotan mencari referensi. Buku melimpah di pasaran. Pilihan susah ditentukan karena ideologi Orde Baru bersemayam dan bertebaran dalam buku. Pembaca masuk dunia abu-abu, menampik atau mengamini, tunduk atau melawan. Buku mirip senjata politis. Efek mungkin melampaui peluru atau bom. Buku bisa endemik untuk mengubah pikiran, imajinasi, dan tubuh. Indonesia pada masa Orde Baru kentara mengalami hegemonisasi buku.
Lakon politik atau sejarah politik Indonesia gampang mengaburkan sumber-sumber referensi alternatif. Representasi dari represi atas buku dan bentuk-bentuk perlawanan terbuka ata tersembunyi bisa ditilik dalam buku Pemahaman Sejarah Indonesia: Sebelum dan Sesudah Revolusi (1982) suntingan William H Frederick dan Soeri Soeroto. Buku ini merangkum sekian materi buku tentang Indonesia, membagikan penggalan-penggalan sejarah, dan menelusupkan perlawanan atas hegemonisasi buku oleh Orde Baru. Buku ini ensiklopedik, membuat mozaik pembacaan sejarah (politik) melalui jagat kata-buku. Sejarah (politik) Indonesia adalah sejarah buku.

Melimpah
Nasip apes buku pada masa Orde Baru lekas tergantikan dengan iklim (lumayan) kondusif usai 1998. Produksi buku melimpah. Agenda merevisi sejarah (politik) Indonesia dirayakan dengan gairah. Buku-buku yang mati suri atau dibungkam Orde Baru bisa terbit dan diedarkan kembali. Kondisi ini membuat nalar dan imajinasi atas sejarah (politik) Indonesia mengalami “pusing.” Bibliografi Indonesia mirip air bah, pembaca kelimpungan. Indonesia memang (masih) negeri buku. Buku memang sejarah kita, sejarah dengan pertarungan ideologis. Manipulasi, gugatan, revisi, pelurusan dilakukan atas nama pertaruhan menghidupi dan mematikan Indonesia.   
Hegemonisasi buku ala Orde Baru masih meninggalkan trauma. Kelimpahan buku di hari ini berkah dalam petaka? Penyadaran atas kemajemukan versi sejarah (politik) Indonesia menjadi perayaan atas kebebasan. Perayaan ini kadang menimbulkan “sakit” karena pembaca disuguhi menu berkelimpahan. Sejarah (politik) Indonesia mungkin bisa jadi amburadul atau semu. Indonesia tetap negeri buku, kendati buku-buku bisa memberi kutukan, menyesatkan pembaca dalam ruang-ruang perseteruan tafsir atas sejarah (politik) Indonesia. Begitu.

Koran Tempo (22 Agustus 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar