Soekarno moncer sebagai pembaca, penulis, dan
orator. Buku dan olah kata identik dengan penguasa Orde Lama ini. Ia
meninggalkan setumpuk buku, ia pencatat biografi diri dan Indonesia. Para ahli
tak bisa menampik, membaca sejarah (politik) Indonesia adalah membaca
tulisan-tulisan Soekarno. Buku Di Bawah Bendera Revolusi, Sarinah,
atau Indonesia Menggugat mirip lembaran-lembaran kehidupan manusia dan
negeri Indonesia, dari zaman ke zaman, dengan pengekalan bahasa.
Kematian Soekarno bukan kematian buku. Para
pembaca yang fanatik, akademik, atau
awam masih menekuni buku-buku Soekarno, jumlah pun bertambah. Sosok dan buku-buku
Soekarno juga menginspirasi orang untuk menulis-menerbitkan buku: biografi,
memoar, catatan kesaksian, esai obituari, buku persembahan 100 tahun, atau
disertasi. Soekarno identik dengan Indonesia, identik dengan buku. Jadi, Indonesia identik dengan buku.
Buku
Indonesia sebagai negeri buku dijadikan
argumentasi bagi Simon Philip (2003) yang menggarap tafsir (sejarah) politik
Indonesia melalui buku-buku produksi para ahli Indonesia. Mereka membaca
Indonesia, memakai buku-buku tentang Indonesia, tulisan dari orang Indonesia
atau pengamat. Garapan ini yang membuat buku-buku Soekarno, Mohammad Hatta,
Sutan Sjahrir, Muhamad Yamin, Sutan Takdir Alisjahbana, Tan Malaka, atau
Mohamad Natsir menjadi sumber-sumber memikat. Philip membuat sebutan atas pembacaan
Indonesia oleh para Indonesianis sebagai “teks-teks hegemonik.” Indonesia
termaktub dalam buku mereka, seolah mengalihkan dunia politik ala tokoh-tokoh
kita dalam buku-buku babon kajian Indonesia, buku yang lahir dari proyek
penelitian asing.
Kerja penelitian Philip adalah contoh ironi.
Indonesia lahir, berubah, mati dalam buku. Semua ini jadi penanda zaman.
Buku-buku warisan tokoh-tokoh kita jadi bukti visioner atas kemauan
membayangkan Indonesia masa depan. Indonesia sebagai tema mendekam di buku, mengalir
ke bilik-bilik kajian politik, ekonomi, sosial, seni, pendidikan, dan kultural
ke penjuru dunia melalui buku. Indonesia adalah dunia buku.
Soekarno sebagai penguasa dan penulis buku
seperti meramalkan diri, Indonesia menemukan eksistensi dari olahan kata, hadir
dalam format buku. Peran penguasa Orde Lama itu tak tergantikan oleh penguasa
Orde Baru. Buku masih jadi medium politik, meski Soeharto bukan pecandu buku
atau penulis. Orde Baru malah menempatkan buku sebagai strategi konstruksi
politik otoritarianisme. Buku dihadirkan dengan kesemuan demokrasi, sebaran
ideologis, penjinakkan massif. Indonesia masih negeri buku, negeri bergelimang
pertarungan gagasan dan ideologi. Hegemoni buku jadi modal kekuasaan Orde Baru.
Hegemoni
Krishna Sen dan David K Hill (2001) memakai
“argumentasi buku” dalam membaca dan menilai relasi media, budaya, dan politik
di Indonesia. Mereka mengungkapkan: “... dunia penerbitan buku merupakan lokus
yang signifikan dari globalisasi kehidupan kebudayaa Indonesia selama Orde Baru.”
Argumentasi ini jadi pembuka tafsiran atas intervensi politik Orde Baru melalui
buku. Pelarangan buku-buku subversif menjadi taktik-politik-licik, memberi
akses untuk buku-buku penopang rezim adalah ritual politik, melakukan kontrol
dan sensor adalah kegenitan politik. Buku dijadikan seteru dan sekutu oleh Orde
Baru melalui kebijakan-kebijakan otoriter. Lakon ini membuat pembacaan
Indonesia kerap mengalami kerancuan ketimbang pada masa Orde Lama.
Produksi
buku-buku studi Indonesia kerepotan mencari referensi. Buku melimpah di
pasaran. Pilihan susah ditentukan karena ideologi Orde Baru bersemayam dan
bertebaran dalam buku. Pembaca masuk dunia abu-abu, menampik atau mengamini,
tunduk atau melawan. Buku mirip senjata politis. Efek mungkin melampaui peluru
atau bom. Buku bisa endemik untuk mengubah pikiran, imajinasi, dan tubuh.
Indonesia pada masa Orde Baru kentara mengalami hegemonisasi buku.
Lakon politik atau sejarah politik Indonesia
gampang mengaburkan sumber-sumber referensi alternatif. Representasi dari
represi atas buku dan bentuk-bentuk perlawanan terbuka ata tersembunyi bisa
ditilik dalam buku Pemahaman Sejarah Indonesia: Sebelum dan Sesudah Revolusi
(1982) suntingan William H Frederick dan Soeri Soeroto. Buku ini merangkum
sekian materi buku tentang Indonesia, membagikan penggalan-penggalan sejarah,
dan menelusupkan perlawanan atas hegemonisasi buku oleh Orde Baru. Buku ini
ensiklopedik, membuat mozaik pembacaan sejarah (politik) melalui jagat
kata-buku. Sejarah (politik) Indonesia adalah sejarah buku.
Melimpah
Nasip apes buku pada masa Orde Baru lekas
tergantikan dengan iklim (lumayan) kondusif usai 1998. Produksi buku melimpah.
Agenda merevisi sejarah (politik) Indonesia dirayakan dengan gairah. Buku-buku
yang mati suri atau dibungkam Orde Baru bisa terbit dan diedarkan kembali.
Kondisi ini membuat nalar dan imajinasi atas sejarah (politik) Indonesia
mengalami “pusing.” Bibliografi Indonesia mirip air bah, pembaca kelimpungan.
Indonesia memang (masih) negeri buku. Buku memang sejarah kita, sejarah dengan
pertarungan ideologis. Manipulasi, gugatan, revisi, pelurusan dilakukan atas
nama pertaruhan menghidupi dan mematikan Indonesia.
Hegemonisasi buku ala Orde Baru masih meninggalkan trauma. Kelimpahan buku
di hari ini berkah dalam petaka? Penyadaran atas kemajemukan versi sejarah
(politik) Indonesia menjadi perayaan atas kebebasan. Perayaan ini kadang
menimbulkan “sakit” karena pembaca disuguhi menu berkelimpahan. Sejarah
(politik) Indonesia mungkin bisa jadi amburadul atau semu. Indonesia tetap
negeri buku, kendati buku-buku bisa memberi kutukan, menyesatkan pembaca dalam
ruang-ruang perseteruan tafsir atas sejarah (politik) Indonesia. Begitu.
Koran Tempo (22 Agustus 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar