Laman

Rabu, 01 September 2010

Perempuan Memuja Desain

  • Oleh Sartika Dian Nuraini
DI masyarakat, perempuan harus terlihat seperti “perempuan”. Sejak lahir, bayi perempuan dihiasi aksesori dan dikenakan pakaian perempuan. Sampai dewasa, masih dalam perilaku berpakaian, mereka harus menyajikan diri sebagai pencinta konstruksi kefemininan.

Di dunia kerja dan mobilitas modern, perempuan dipaksa sadar akan desain kefemininan kapitalistik. Itulah jurang yang diterjuni perempuan melalui kemerebakan industrialisasi dalam jagat konfeksi. Perempuan kian menyakiti diri dalam balutan busana seksi.

Masuknya budaya berpakaian ala Barat mengobrak-abrik politik estetika berbusana tradisional. Itu mengubah-membuang kreativitas dan kondisi feminin model tradisional. Kultur budaya berpakaian orisinal daerah yang merupakan konsep harmoni perempuan Jawa sebagai kosmologi kultur pembentukan identitas terejawantah. Perempuan ikhlas menjadi objek visual lelaki. Mereka tertarik dan memakai busana ala Eropa yang dibawa kaum borjuis, terutama Prancis dan Amerika. Majalah Vogue menjadi kitab dan perempuan terus memburu dan diburu oleh zaman yang kejar-mengejar uang.

Menelanjangi Diri

Erotisme yang didamba dominasi maskulin mewujudkan ritual matrimonial arbitrer ketika membeli baju berdesain. Kali pertama melihat desain baju, perempuan diselimuti instrumen paradigmatik yang bergerak meresap dan halus di alam bawah sadar. Maka, ditilik melalui kacamata futuristik, perempuan bisa saja menelanjangi diri demi menjemput kesan kefemininan dan kesensualan. Karena itu, doktrin yang dibawa pasar desain kuat sekali. Perempuan mungkin tak sanggup mengintervensi untuk menjauhkan diri dari desain baju. Perempuan akan terus tersakiti, teraniaya, dan terjamah mata produsen dan lelaki hidung belang.

Harga diri jadi tak penting. Hegemoni yang tertanam dalam baju berdesain Dolce and Gabbana mengakar kuat di hati. Nilai tukar terhadap rupiah pun bukan masalah yang rumit bagi perempuan berduit. Majalah, tabloid, koran edisi Minggu yang tak pernah sepi pelanggan menjadi saksi bisu betapa kehidupan perempuan merupakan politik ekonomi global dan harta karun bagi pemodal. Tragis.

Transaksi simbolik antara perempuan dan desain dapat ditelaah. Perempuan jadi objek, bukan subjek, dalam memilih model desain baju. Para artis dan model menjadi patung berjalan, memamerkan postur tubuh ideal yang harus ditiru perempuan modern. Mereka menjadi agen penting. Perempuan kian puas memandang tubuh mereka yang molek dan meliuk di hadapan kaca rias. Produsen baju puas, laba yang diperoleh menjulang ke langit karena makin minim desain yang jadi penentu kecenderungan kian sedikit modal untuk membuat pakaian. Fantastis, ketika pakaian berbahan tipis dan berukuran kecil dibanderol beberapa juta rupiah. Komodifikasi Tubuh Komodifikasi tubuh perempuan merupakan rahasia umum, yang walau dilawan, konklusinya hanya kebenaran imajinatif. Elemennya tak bertahan lama, bahkan terkena penyakit bosan mengungkapkan kritik. Refleksi filosofis para pemikir perempuan di Indonesia hanya hanyut dalam kesetaraan gender. Jarang ada yang cerewet membahas komodifikasi tubuh perempuan.

Perempuan memuja desain merupakan dilema realitas atas pertaruhan eksistensi. Wajah dan tubuh perempuan adalah fenomenologi eksistensial yang nyata. Pesimisme dan krisis kepercayaan diri disebut-sebut sebagai penyebab utama. Padahal, jelas sekali nalar publik terhegemoni. Perempuan dikomando dalam interval sambung-menyambung di ranah konfeksi.

Curiga eksistensi merupakan perwujudan subjektivikasi desain. Perempuan cenderung menyesuaikan tubuh untuk desain. Desain versus perempuan merangkum tragedi politik perhatian. Perempuan mencari sensasi menyeluruh mengenai diri sebagai bentuk pujian dan identitas status sosial. Perempuan memperebutkan jati diri yang jauh dari pembedaan.

Nafsu pakaian berbanding setara dengan kultur tontonan. Imajinasi sosok ideal terus membelenggu pikiran. Perempuan takluk terhadap desain adalah petaka. Dialektika identitas perempuan tak pernah menemui titik temu. Parahnya, perempuan jadi korban kelihaian dan tak menampakkan kompetensi untuk melawan. Perempuan yang menjauh dari desain akan dicap masyarakat sebagai perempuan unik dan eksentrik, aneh, atau nyeleneh.

Dengan dalih berdemokrasi yang bebas berekspresi, borjuis menggencet dan menggugat perempuan untuk memuja desain. Meski Nietzsche berteriak-teriak bahwa demokrasi adalah pemerintahan kaum dagang semata-mata, tak ada lagi yang peduli. Perempuan hanya tahu, tubuh mereka harus dieksplorasi sesuai dengan perkembangan zaman. Perempuan hanya tahu, tubuh mereka perlu dinikmati oleh diri sendiri sebagai wacana narsistik, atau oleh lelaki dalam relasi kontak sosial dan ikhtiar.

Prosesi belenggu dan komodifikasi perempuan sebenarnya telah diperdebatkan sejak feminisme merebak pada pertengahan abad ke-20. Di Barat, banyak sekali feminis mengadopsi teori marxis sebagai acuan penyadaran diri untuk masyarakat. Namun kekuatan itu melemah karena dunia dipaksa tak berpihak pada pemikir-pemikir itu. Momok Menakutkan Film-film Hollywood seolah terus membombardemen manusia yang mencandu dunia desain yang dipakai para artis. Tentu hal itu seolah tak jauh dari peran sang figuran dalam iklan dan promosi desain baju.

Banyak pula desain yang menjanjikan menutupi kekurangan perempuan, seperti kegemukan. Namun kenyataannya, kegemukan tetap momok menakutkan bagi perempuan. Bagi perempuan gemuk dan memercayai kriteria cantik di televisi, hasilnya adalah keterpurukan dan frustrasi. Akhirnya, mereka rela berjuang ke sana-kemari, dari sedot lemak sampai minum obat kurus. Padahal, tak sedikit yang berbahaya bagi kesehatan. Itu analogi sekaligus apologi betapa tubuh perempuan dituntut selalu menyesuaikan diri dengan desain. Perempuan terusir dari dalam diri mereka oleh obsesi cantik. Desain menjadi subjek otoriter di atas perempuan dalam prosedur modernitas.

Perempuan masa kini lucu dan wagu. Berlenggak-lenggok demi mencari perhatian lelaki dan mencari-cari pujian sesama perempuan. Misteri dalam berpakaian mencorakkan sakrilegi dan membantai bentuk-bentuk disposisi perempuan di balik baju yang mereka kenakan. Ukuran rasa malu yang tinggi, perilaku moral, dan penjagaan diri seperti diungkapkan tradisi Jawa merupakan signifikasi moral yang jika diinterpretasikan secara kolektif dapat membantu perempuan tak terjerumus dalam rumus dan pola sosial masyarakat kota dalam memilih desain. Setelah itu, mampukah dan maukah perempuan memaknai diri dengan afirmasi untuk tak diperbudak desain? Entahlah. (51)

- Sartika Dian Nuraini, bergiat di Pengajian Senin dan Bale Sastra Kecapi Solo

"Tulisan pernah dimuat di Suara Merdeka tanggal 01 Sept 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar