Laman

Rabu, 25 Agustus 2010

KITA, RUMAH, DAN SEJARAH DIRI

Oleh Fanny Chotimah

Manusia membuat rumah seperti burung membuat sarang? Adanya kebutuhan untuk merasa terlindungi dari dunia di luar rumah yang liar, menyebabkan manusia sadar rumah, melebihi fungsi sarang. Manusia menciptakan dunia baru dengan nalar dan imajinasi, yaitu “dunia rumah.”, di mana dia bisa berlaku seperti tuan. Aktivitas membangun dan merawat rumah diwujudkan dalam menata dan mengatur segala sesuatunya dalam rumah dapat menjalankan fungsinya masing-masing. Bahkan tidak cukup dengan beranak pinak saja, manusia juga membawa hewan, tumbuhan, dan benda-benda untuk ikut serta ke dalam “dunia rumah.” Rumah adalah mosaik kehidupan manusia di antara makhluk dan benda-benda yang dapat ikut memberi makna keberadaan rumah.

Segala sesuatu yang di dalam dan di luar rumah, mencerminkan penghuni rumah. Tetapi saat ini, cerminan tersebut dapat kabur karena banyak orang hanya memasukkan apa saja dan membangun lalu meletakkan sesuatu di lingkungan rumah tanpa tahu arti dan fungsi. Kalau seperti ini rumah adalah gudang apa saja, juga mirip etalase, entah diniatkan untuk pamer atau menuruti keinginan konsumtif. Barangkali hal tersebut untuk estetisasi rumah, tetapi tidak sadar dengan tafsir dan makna rumah. Kebutuhan akan rumah berkembang menjadi sebuah kepemilikan yang harus disahkan negara melalui perangkat hukum yang bernama sertifikat kepemilikan. Rumah yang didirikan di atas tanah sendiri juga harus dikenai pajak. Rumah tidak bebas dari intervensi Negara. Kita menghuninya, tetapi negara ikut mengaturnya, karena memiliki kekuatan memaksa dan memberi hukuman. Tidak cukup sampai di situ, untuk dalih keamanan maka ada di antara kita membangun pagar tinggi dan kawat berduri seolah-olah keharusan. Rumah harus tampil menor dengan trend arsitektur terbaru. Rumah akhirnya menjadi cerminan pencapaian materi dan prestise sang pemilik yang akan menentukan tempat pemiliknya dalam strata sosial di masyarakat.

Pemaknaan

Dalam bahasa Inggris, ada dua kata yang merujuk pada rumah, yaitu home dan house. Menurut Mirriam Webster Dictionary, istilah ini lahir sebelum abad ke 12 dari middle English. House, rumah sebagai bangunan fisik dalam arti tempat tinggal. Sedangkan kata home memiliki pengertian lebih luas tak hanya berarti sebagai bangunan tempat tinggal. Rumah sebagai tempat di mana hatimu berada. Maksudnya, bukan hanya sebagai sebuah bangunan yang bisa melindungi kita secara lahir dari ancaman dunia luar, tetapi juga secara batiniah di mana kita merasakan kenyamanan dan penerimaan. Sehingga, kita bisa menemukan rumah di mana pun kita berada. Namun, realitasnya rumah yang kita tinggali saat ini hanya sebatas tempat untuk tidur, makan dan mandi sebagai sebuah bangunan tak berjiwa. Jika melihat kesibukan kaum pekerja di kota besar yang menghabiskan waktu seharian di kantor ditambah kemacetan di jalan. Pergi dari rumah sebelum terbit fajar pulang ke rumah pada waktu malam. Pemandangan matahari dan senja sangat langka bisa disaksikan di akhir pekan jika tak berkeliaran di mall. Rumah terus kehilangan fungsi dan makna. Rumah bisa jadi sama dengan terminal, pos ronda, toko, gudang, atau apa saja. Rumah kehilangan sakralitasnya, dan hanya dipandang sebagai tempat. Jiwa rumah hilang tergantikan tubuh rumah yang sering sakit-sakitan. Manusia modern semakin terasing di dalam rumahnya. Ironi, merasa terasing di dalam dunia yang dia ciptakan dan cita-citakan. Kontak dengan dunia luar semakin tak terhindarkan saat televisi hadir menjadi bagian dari keluarga.

Tubuh memang ada di dalam rumah, tetapi pikiran dan imajinasi melewati tembok dan pagar rumah. Makna hadir di rumah jadi pudar. Ironi ini dapat dicontohkan dengan potret keluarga Amerika dalam serial film kartun The Simpsons, di mana semua anggota keluarga berkumpul di depan televisi. Inilah potret nyata keluarga saat ini. Televisi dicitrakan sebagai perekat kebersamaan keluarga. Namun, kebersamaan yang hadir menjadi kehilangan arti. Televisi telah memaksa kita lupa rumah, padahal kita ada di dalam rumah itu secara fisik. Televisi malah berarti “rumah bersama” bagi para penonton meskipun beda tempat.

Akhirnya, kita selalu kesepian lalu ingin pergi meninggalkan rumah. Namun, saat kita sudah berada di luar rumah kita selalu mencari-cari rumah. Kita didera dilema yang membingungkan, bahkan membuat kita kehilangan orientasi hidup. Hal ini yang dimanfaatkan kaum kapitalis dengan membangun industri-industri yang menjanjikan kehadiran rumah yang dirindukan. Sebutlah kafe, restoran, hotel yang dibangun dengan konsep rumah atau bernuansa rumah, entah dengan sentuhan klasik maupun kontemporer. Kita harus mengeluarkan dana besar untuk membeli pengalaman seperti ada di dalam rumah, bukannya pengalaman sebenarnya saat di dalam rumah sendiri.

Sejarah Diri
Kita dapat menengok tokoh lelaki tua Carl Fedricksen dalam film animasi UP besutan Pixar yang meraih Oscar tahun ini. Kontraktor perumahan modern membujuk Fedrickson untuk menjual rumah yang telah dia huni puluhan tahun. Rumahnya menyimpan sejarah, dan dia merefleksikan bahwa Ellie (mendiang sang isteri) hidup di dalamnya. Karena merasa terancam dan ikatan batin yang kuat dengan rumah tersebut, secara tak sengaja dia menyerang seorang karyawan menggunakan tongkatnya, sehingga dia dituntut secara hukum. Putusan pengadilan pun harus diterima. Karena pertimbangan ketuaannya, dia harus tinggal di panti jompo. Secara kreatif, meski tidak logis, dia memasang banyak balon gas helium berwarna-warni, sehingga rumahnya bisa terbang (floating home) menuju sebuah mimpi masa kanak-kanak, yakni hidup di tebing dan air terjun yang indah di Paradise Fall, Amerika Selatan. Di sanalah rumahnya akan berpindah. Carl yang keras kepala dan penuh keyakinan mempertahankan rumahnya untuk tetap menjadi bagian dari hidupnya dengan berbagai cara, merupakan contoh kesadaran memiliki makna rumah.

Belajar dari film tersebut, bagi saya rumah merupakan tempat segala sesuatu bermula, sebuah tempat di mana cita-cita, harapan dan mimpi bermula. Rumah membuat kita berproses menjadi manusia. Rumah sebenarnya membuat kita jauh dari alienasi. Pengambilan jarak dan ekses modernitas selalu membujuk kita untuk kehilangan makna dan ingin pergi dari rumah. Kita patut belajar pada Carl dan Ellie, pasangan dalam film UP, yang tak kenal putus asa membangun dan mencita-citakan impian dan makna hidup dalam rumah. Artinya, rumah adalah sejarah diri tempat kita memulai dan mengakhiri. Rumah membuat kita menjadi manusia yang sadar dengan pusat dan orientasi kehidupan. Rumah adalah pusat kehidupan dan kita hidup di dalamnya dengan berbagai kisah suka dan duka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar