Laman

Jumat, 20 Agustus 2010

Rezim Aksara Latin

Bandung Mawardi

Konon, negeri ini dikenalkan dengan pemakaian aksara Latin, secara resmi, sejak abad XVI. Alif Danya Munsyi (2005) menandai dengan pendirian sekolah pertama di Ambon, 1536, oleh penguasa Portugis, Antonio Galvao. Aksara Latin datang dari negeri seberang karena perdagangan, petualangan, misi agama, dan hasrat kolonialisme. Jadi, rezim aksara Latin itu sudah “mengutuki” kita sekian abad silam, tapi tanpa resistensi kultural? Kekalahan dan “ketaatan” kita atas aksara Latin, mungkin saja, terbentuk karena lengah dalam basis kultural dan politik. Hari ini, siapa mau mengurusi kesejarahan kita dan biografi etnik di Nusantara dengan penelisikan aksara. Kita telah terbuai oleh aksara Latin, sehingga proses dan kondisi literasi saat ini susah menantang curiga ideologis. Keseharian kita, menghidupi dan dihidupi dengan aksara Latin, sebab dalam tatapan dan tindakan apa pun, aksara Latin bertaburan di buku, koran, poster, spanduk, televisi, atau pembungkus makanan. Aksara Latin itu ada dalam diri kita, tapi mungkinkah merepresentasikan ironi kesejarahan identitas kultural-politik di Nusantara? Sejarah bisa lenyap, saat memori kolektif atas aksara Pallawa, Kawi, Jawi, Batak, Jawa, Sunda, atau Bali, tinggal jadi rosokan di museum atau perpustakaan. Kita susah memiliki modal untuk membaca aksara-aksara itu, apalagi merasa menginternalisasi dengan tindakan produktif, menulis atau menerjemahkan dengan aksara etnik. 

Aksara-aksara etnik memang masih ada, tetapi mulai terdefinisikan sebagai sesuatu yang “asing”, “usang”, atau “eksotis.” Kita seperti tak melihat diri atau menemukan diri dalam aksara-aksara etnik. Kita hilang dalam aksara etnik? Kita merasa tidak menjadi apa atau siapa dalam aksara Latin? Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin tidak pernah memburu kita atau memunculkan mimpi buruk saat melihat zaman mengabsenkan sejarah diri dan etnik. Nasib Kesadaran terhadap makna aksara telah mengalami desakralisasi. Pemakaian aksara Latin, dalam satire picisan, mirip dengan cara kita makan dan mengenakan pakaian, tapi menanggalkan sejarah dan jejak identitas diri. Aksara Latin sebagai aksara global, menyerap kita ke dalam, merebut akar lokalitas, untuk pencapaian tataran komunikasi terstandarisasi. Penerimaan ini dalam acuan kultural, tidak sekadar merayakan konsensus komunikasi global, melainkan mencakup homogenisasi lewat operasionalisasi ideologis yang menelusup dan bergerak melalui aksara. Curiga kultural dan kemauan menyingkap laten ideologis dalam aksara mungkin saja merepotkan kita. Namun, kesanggupan memerkarakan aksara bakal membukakan kita pada sejarah kekalahan dan kematian “identitas-etnik.” Aksara dalam komunitas etnik tidak sekadar materi huruf. Di dalam aksara itu mengandung sejarah, legenda, mitos, filsafat, sastra, estetika-kaligrafi, teologi, dan simbol. Aksara juga menunjukkan otoritas kekuasaan, intelektualitas, keagamaan, dan kultural. 

Aksara menjadi juru bicara dari tipologi kultural suatu komunitas etnik. Aksara sama dengan identitas. Sakralitas ada dan merasuk dalam aksara, sehingga memberi aksentuasi keberimanan sosial-kultural untuk merayakan hidup. Kisah aksara ini telah ditepikan dan dilenyapkan oleh kita dan mereka. Ranah kekuasaan mungkin pihak paling bersalah. Pelbagai sumber sejarah mencatat, tradisi surat menyurat kalangan penguasa kerajaan lokal di Nusantara pada abad XVI kerap memakai bahasa Melayu, kendati dituliskan dengan aksara-aksara lokal. Tradisi ini berubah saat kolonial “memaksa” penggunaan aksara Latin dalam korespondensi demi kepentingan politik, ekonomi, dan pendidikan. Merak mengerti bahasa Melayu, tetapi susah mempelajari aksara-aksara etnik. Mereka juga merasa perlu menantang dominasi pengaruh penggunaan aksara Arab atau modifikasi aksara Arab-Jawa dalam praktik politik, pendidikan, hukum, dan pola sebaran agama di Nusantara. Aksara Latin pun dimunculkan untuk menciptakan hegemoni. Para penguasa takluk. Aksara Latin menjelma medium penjinakkan, meski ada embel-embel untuk pemberadaban. 

Aksara-aksara etnik sekarat. Sekian aksara malah dilenyapkan untuk memupus resistensi. Kebiadaban tercipta gara-gara politik aksara. Pelacakan terhadap nasib aksara-aksara etnik di Nusantara juga bisa kita temukan dalam sejarah penerjemahan Alkitab. J L Swellengrebel dalam Mengikuti Jejak Leijdecker: Satu Setengah Abad Penerjemahan Alkitab dan Penelitian Bahasa dalam Bahasa-bahasa Nusantara (2006) menerangkan, proyek perjemahan Alkitab ke bahasa lokal (Jawa, Dayak Ngaju, Batak, Makasar, Bugis, Melayu, Sunda, dan Nias) menggeliat secara fenomenal pada abad XIX. Pola penerjemahan dengan misi agama ini tentu melibatkan praktik transaksi bahasa, estetika, politik, kultural, dan teologi. Nasib aksara lokal dan godaan aksara Latin dipertaruhkan dalam kerja besar itu. Jejak masih ada dan efek masih kita rasakan sampai hari ini, kendati memori melemah karena intimitas terhadap aksara Latin lebih mengena ketimbang aksara-aksara etnik. Legitimasi Abad XIX dan XX merupakan zaman gemilang untuk dominasi aksara Latin. Pendirian lembaga pendidikan, kerja birokrasi kolonial, lakon keraton, dan revolusi mesin cetak di Nusantara identik dengan rezim aksara Latin. Aksara ini memang memberi pengaruh laju modernitas dan menyadarkan kalangan pribumi atas sejarah kekalahan. Aksara Latin sebagai simbol penjinakkan, juga dijadikan senjata perlawanan oleh kita, melalui pemakaian dalam tulisan-tulisan menantang ulah kolonial. Kaum intelektual, pergerakan, wartawan, dan pujangga kita memakai aksara Latin, tapi menaruh spirit resistensi agar tak kalah telak. Pemerintahan kolonial Belanda dan Inggris menjadi pelaku untuk merayakan aksara Latin di Nusantara. 

Konon, masa pemerintahan singkat oleh Inggris pada abad XIX, malah ikut “merestui” sebaran aksara Latin. Mereka memaksakan diri agar segala bentuk edara produksi pemerintah memakai aksara Latin, sehingga penguasa lokal pun harus menurut untuk partispasi dalam lingkaran kekuasaan mereka. Aksara Latin juga eksplisit dijadikan penantang agar pengaruh pemakaian aksara Arab, pengaruh masa Islam, tidak memberi identitas bagi Nusantara. Pertarungan aksara terjadi, tapi takdir kekalahan mesti kita terima. Legitimasi aksara Latin kentara dalam garapan tata bahasa Melayu (1901) oleh C A van Ophuijsen. Pembakuan bahasa Melayu dilakukan oleh pihak penguasa kolonial. Ejaaan-ejaan memakai aksara Latin. Inilah kekalahan sistematis, sebab buku itu dijadikan standar dalam pengajaran di Hindia Belanda. Efek dari rezim aksara Latin ini adalah nalar, imajinasi, perasaan, atau mimpi kita “terbentuk” dalam dunia asing, tapi dipaksakan untuk dipribumikan melalui perangkat politik, hukum, sastra, atau pendidikan. Konsekuensi kultural tidak pernah rampung diselesaikan pada zaman itu karena lengah atau repot. Efek aksara Latin pun juga menentukan rintisan pemunculan gagasan atau imajinasi “nasionalisme” melalui revolusi mesin cetak. Aksara Latin memberi kutukan dan berkah. Kita kerap kalah, tapi enggan melacak kesejarahan identitas diri melalui aksara. Begitu. 

Koran Tempo (4 Juli 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar