- Oleh Mohamad Fauzi
Model
pengejawantahan gerakan mahasiswa pasca 1998 hampir selalu berbasis aksi dalam merespon
isu, kejadian, kebijakan pemerintah dan sebagainya. Bentuk yang paling dominan
adalah demontrasi atau pengerahan massa. Model seperti ini setidaknya memiliki dua
keuntungan. Yang pertama adalah sifatnya yang mencolok. Pengerahan massa di jalan-jalan trotoar dan di tempat
strategis tentu saja akan menarik perhatian masyarakat. Belum lagi, para
demonstran sering menggunakan berbagai atraksi, pengeras suara, dan berbagai
umbul-umbul, spanduk, atau poster.
Keuntungan
yang kedua adalah sifatnya yang responsif. Demontrasi atau unjuk rasa bisa
merespon isu, kebijakan, atau kejadian yang sedang berlangsung dengan cepat dan
biaya yang sedikit.
Meski
demikian, model gerakan berbasis aksi ini memiliki banyak kelemahan. Ia cenderung
bersifat reaktif, kurang analitis, kurang meyakinkan, kurang data, cenderung mengikuti
arus yang dibentuk oleh media konvensional atau kalangan yang memiliki
kepentingan tertentu, dan sering tidak membumi di mata masyarakat baik dari
segi isu, isi, dan aksinya sendiri. Dan tak jarang sering menimbulkan aksi anarkis,
pengrusakan, kemacetan lalu lintas, dan sebagainya. Dalam batas-batas tertentu,
keberhasilan gerakan berbasis aksi ini ditentukan oleh chaos atau
kerusuhan yang meminta bahkan memaksa untuk ditanggapi.
Gerakan mahasiswa
yang berbasis aksi sebenarnya sudah tidak efektif lagi dalam alam demokrasi liberal
(konstitusional) sekarang ini. Dalam alam demokrasi liberal, setiap aksi yang
tidak mampu memenangkan hati publik, tidak massif (sporadis), dan tidak
mengarah pada proses legislasi, hampir dapat dipastikan akan kandas, menguap di
tengah jalan, dan pada akhirnya hanya akan menghasilkan kekecewaan dan
anarkisme.
Dalam
demokrasi liberal ini, yang paling penting untuk dilakukan gerakan mahasiswa
adalah berdasarkan rentetan berikut: (1) memenangkan opini publik, (2)
mengusulkan dan mengawal proses legislasi, dan (3) memastikan berjalannya semua
ini untuk kepentingan bangsa.
Memenangkan
opini publik mengharuskan mahasiswa untuk bergerak dalam ranah pemikiran dan
kebudayaan, membangun gerakan berbasis epistemologis-ideologis. Dari sini, akan
lahir cita-cita bersama, katakanlah seperti “Indonesia yang Kita Cita-citakan”
yang pernah dilakukan oleh gerakan mahasiswa Kelompok Cipayung pada 19-22
Januari 1972 (KOMPAS, 10/12/2008).
Basis pemikiran itu harus solid secara intern dan kuat secara
ekstern. Solid secara intern dan kuat secara ekstern berarti pemikiran itu
komprehensif dan tahan terhadap gempuran kritik dari luar. Dalam hal ini kita
ingat kembali alasan menteri pendidikan dan kebudayaan yang pernah “membredel”
gerakan mahasiswa, Daoed Yoesoef, dengan kebijakan NKK/BKK (Normalisasi
Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan).
Daoed Yoesoef memberikan
definisi mahasiswa yang sekaligus sebagai alasan kebijakannya, “Mahasiswa pada
hakikatnya, bukanlah “manusia rapat umum” (man of public meeting),
tetapi manusia penganalisa bukan semata pemburu ijazah, tetapi
seharusnya penghasil gagasan (ide) yang disajikan dalam bentuk pemikiran yang
teratur, yang banyak sedikitnya sesuai dengan hakikat ilmu pengetahuan yaitu goerdend
denken… hakikat kemahasiswaannya, adalah kekuatan penalaran dan pikiran
individual.”(Jalaluddin Rakhmat,
2002).
Dalam konteks masa itu (80-an), ide
seperti ini memang tampak tidak relevan dengan tuntutan zaman dan cenderung
mengebiri. Gerakan mahasiswa (organsisasi ekstra kampus) dikeluarkan dari
kampus yang berbuntut kurang solidnya gerakan mahasiswa. Pemikiran Daoed Yoesoef itu juga cenderung hanya
menempatkan mahasiswa sebagai penganalisa, bukan, seharusnya, manusia yang
memahami dirinya dan lingkungannya secara menyeluruh.
Namun, pada saat ini, ide seperti itu
menjadi sesuatu yang banyak ditunggu oleh masyarakat. Masyarakat sudah jenuh
dengan gerakan berbasis aksi yang cenderung negatif (dengan tidak bermaksud
mengeneralkan). Maka inilah celah bagi gerakan mahasiswa untuk mengedepankan
gagasan dan pemikiran.
Hasilnya
kemudian disalurkan melalui media massa baik konvensional ataupun yang
mutakhir, katakanlah blog, yang akan menjangkau berbagai lapisan masyarakat, yang
akan membentuk pemahaman, kesadaran, dan pada akhirnya terbentuk opini publik.
Pemahaman, kesadaran, dan opini publik akan menjadi modal gerakan dan kerangka
berpikir mahasiswa pada khususnya dan publik pada umumnya dalam merespon atau
mengkritisi isu, kejadian, kebijakan pemerintah, dan sebagainya. Inilah yang
akan membentuk arus gerakan mahasiswa didukung sepenuhnya oleh masyarakat
sebagaimana terjadi pada 1998. Sayangnya model ini sepertinya tidak digarap lagi
oleh gerakan mahasiswa dewasa ini.
Selain itu,
cita-cita bersama itu bisa (bahkan seharusnya) diajukan dalam proses legislasi
pada dewan perwakilan masyarakat, selain pada masyarakat Indonesia sendiri.
Proses legislasi tentu saja memerlukan para pemikir dan penulis untuk membentuk
semacam rancangan undang-undang bagi kebaikan, kemajuan, dan kesejahteraan
bangsa.
Tahapan
terakhir adalah memastikan bahwa isu, kejadian, kebijakan, dan sebagainya yang
terjadi berjalan untuk kepentingan bangsa. Di sinilah proses advokasi dan aksi
sebenarnya harus ditempatkan. Advokasi dan aksi dijalankan dalam bentuk
demonstrasi, unjuk rasa, dan pengerahan massa, dan sebagainya yang berbasis
pengetahuan, analisis, dan data yang lengkap, yang akan membumi di hati publik.
Tanpa itu, aksi yang selama ini dilakukan oleh mahasiswa akan cepat tersapu
angin jalanan dan deru kendaraan. Tak berbekas. Bahkan, bisa dikatakan sekadar
ulah, bukan gerakan.
Terakhir, harus
diakui bahwa gerakan mahasiswa tidak lepas dari konteks perkembangan pemikiran
yang sedang marak pada masanya. Gerakan mahasiswa 60-an dan 70-an tidak bisa
lepas dari sosialisme (versus kapitalisme) dengan berbagai variannya yang
melanda Indonesia, dan 98-an tidak lepas dari menangnya liberalisme seperti
dikatakan Francis Fukyama. Maka, yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, basis
pemikiran seperti apa yang hendak diusung oleh gerakan mahasiswa setelah
liberalisme hanya menampakan ilusi-ilusinya?
(Dimuat di Suara Merdeka, 03 April 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar