Laman

Senin, 23 Agustus 2010

Memikir Ulang Aksi Mahasiswa


  • Oleh Mohamad Fauzi


Model pengejawantahan gerakan mahasiswa pasca 1998 hampir selalu berbasis aksi dalam merespon isu, kejadian, kebijakan pemerintah dan sebagainya. Bentuk yang paling dominan adalah demontrasi atau pengerahan massa. Model seperti ini setidaknya memiliki dua keuntungan. Yang pertama adalah sifatnya yang mencolok. Pengerahan  massa di jalan-jalan trotoar dan di tempat strategis tentu saja akan menarik perhatian masyarakat. Belum lagi, para demonstran sering menggunakan berbagai atraksi, pengeras suara, dan berbagai umbul-umbul, spanduk, atau poster.
Keuntungan yang kedua adalah sifatnya yang responsif. Demontrasi atau unjuk rasa bisa merespon isu, kebijakan, atau kejadian yang sedang berlangsung dengan cepat dan biaya yang sedikit.
Meski demikian, model gerakan berbasis aksi ini memiliki banyak kelemahan. Ia cenderung bersifat reaktif, kurang analitis, kurang meyakinkan, kurang data, cenderung mengikuti arus yang dibentuk oleh media konvensional atau kalangan yang memiliki kepentingan tertentu, dan sering tidak membumi di mata masyarakat baik dari segi isu, isi, dan aksinya sendiri. Dan tak jarang sering menimbulkan aksi anarkis, pengrusakan, kemacetan lalu lintas, dan sebagainya. Dalam batas-batas tertentu, keberhasilan gerakan berbasis aksi ini ditentukan oleh chaos atau kerusuhan yang meminta bahkan memaksa untuk ditanggapi.
Gerakan mahasiswa yang berbasis aksi sebenarnya sudah tidak efektif lagi dalam alam demokrasi liberal (konstitusional) sekarang ini. Dalam alam demokrasi liberal, setiap aksi yang tidak mampu memenangkan hati publik, tidak massif (sporadis), dan tidak mengarah pada proses legislasi, hampir dapat dipastikan akan kandas, menguap di tengah jalan, dan pada akhirnya hanya akan menghasilkan kekecewaan dan anarkisme.
Dalam demokrasi liberal ini, yang paling penting untuk dilakukan gerakan mahasiswa adalah berdasarkan rentetan berikut: (1) memenangkan opini publik, (2) mengusulkan dan mengawal proses legislasi, dan (3) memastikan berjalannya semua ini untuk kepentingan bangsa.
Memenangkan opini publik mengharuskan mahasiswa untuk bergerak dalam ranah pemikiran dan kebudayaan, membangun gerakan berbasis epistemologis-ideologis. Dari sini, akan lahir cita-cita bersama, katakanlah seperti “Indonesia yang Kita Cita-citakan” yang pernah dilakukan oleh gerakan mahasiswa Kelompok Cipayung pada 19-22 Januari 1972 (KOMPAS, 10/12/2008).
Basis pemikiran  itu harus solid secara intern dan kuat secara ekstern. Solid secara intern dan kuat secara ekstern berarti pemikiran itu komprehensif dan tahan terhadap gempuran kritik dari luar. Dalam hal ini kita ingat kembali alasan menteri pendidikan dan kebudayaan yang pernah “membredel” gerakan mahasiswa, Daoed Yoesoef, dengan kebijakan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan).
Daoed Yoesoef memberikan definisi mahasiswa yang sekaligus sebagai alasan kebijakannya, “Mahasiswa pada hakikatnya, bukanlah “manusia rapat umum” (man of public meeting), tetapi manusia penganalisa bukan semata pemburu ijazah, tetapi seharusnya penghasil gagasan (ide) yang disajikan dalam bentuk pemikiran yang teratur, yang banyak sedikitnya sesuai dengan hakikat ilmu pengetahuan yaitu goerdend denken… hakikat kemahasiswaannya, adalah kekuatan penalaran dan pikiran individual.”(Jalaluddin Rakhmat, 2002).
Dalam konteks masa itu (80-an), ide seperti ini memang tampak tidak relevan dengan tuntutan zaman dan cenderung mengebiri. Gerakan mahasiswa (organsisasi ekstra kampus) dikeluarkan dari kampus yang berbuntut kurang solidnya gerakan mahasiswa. Pemikiran  Daoed Yoesoef itu juga cenderung hanya menempatkan mahasiswa sebagai penganalisa, bukan, seharusnya, manusia yang memahami dirinya dan lingkungannya secara menyeluruh.
Namun, pada saat ini, ide seperti itu menjadi sesuatu yang banyak ditunggu oleh masyarakat. Masyarakat sudah jenuh dengan gerakan berbasis aksi yang cenderung negatif (dengan tidak bermaksud mengeneralkan). Maka inilah celah bagi gerakan mahasiswa untuk mengedepankan gagasan dan pemikiran.
Hasilnya kemudian disalurkan melalui media massa baik konvensional ataupun yang mutakhir, katakanlah blog, yang akan menjangkau berbagai lapisan masyarakat, yang akan membentuk pemahaman, kesadaran, dan pada akhirnya terbentuk opini publik. Pemahaman, kesadaran, dan opini publik akan menjadi modal gerakan dan kerangka berpikir mahasiswa pada khususnya dan publik pada umumnya dalam merespon atau mengkritisi isu, kejadian, kebijakan pemerintah, dan sebagainya. Inilah yang akan membentuk arus gerakan mahasiswa didukung sepenuhnya oleh masyarakat sebagaimana terjadi pada 1998. Sayangnya model ini sepertinya tidak digarap lagi oleh gerakan mahasiswa dewasa ini.
Selain itu, cita-cita bersama itu bisa (bahkan seharusnya) diajukan dalam proses legislasi pada dewan perwakilan masyarakat, selain pada masyarakat Indonesia sendiri. Proses legislasi tentu saja memerlukan para pemikir dan penulis untuk membentuk semacam rancangan undang-undang bagi kebaikan, kemajuan, dan kesejahteraan bangsa.
Tahapan terakhir adalah memastikan bahwa isu, kejadian, kebijakan, dan sebagainya yang terjadi berjalan untuk kepentingan bangsa. Di sinilah proses advokasi dan aksi sebenarnya harus ditempatkan. Advokasi dan aksi dijalankan dalam bentuk demonstrasi, unjuk rasa, dan pengerahan massa, dan sebagainya yang berbasis pengetahuan, analisis, dan data yang lengkap, yang akan membumi di hati publik. Tanpa itu, aksi yang selama ini dilakukan oleh mahasiswa akan cepat tersapu angin jalanan dan deru kendaraan. Tak berbekas. Bahkan, bisa dikatakan sekadar ulah, bukan gerakan.
Terakhir, harus diakui bahwa gerakan mahasiswa tidak lepas dari konteks perkembangan pemikiran yang sedang marak pada masanya. Gerakan mahasiswa 60-an dan 70-an tidak bisa lepas dari sosialisme (versus kapitalisme) dengan berbagai variannya yang melanda Indonesia, dan 98-an tidak lepas dari menangnya liberalisme seperti dikatakan Francis Fukyama. Maka, yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, basis pemikiran seperti apa yang hendak diusung oleh gerakan mahasiswa setelah liberalisme hanya menampakan ilusi-ilusinya?
(Dimuat di Suara Merdeka, 03 April 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar