Laman

Jumat, 20 Agustus 2010

Proyek “Menemukan” Manusia Indonesia

Bandung Mawardi

Pelacakan tentang siapa yang “menemukan” manusia Indonesia, memerlukan ketekunan membuka lembaran-lembaran dokumen atau buku. Pelacakan itu juga minta legitimasi, melalui ingatan atas pewarisan cerita lisan, dari mulut ke mulut. Pekerjaan ini melelahkan, tapi menggairahkan, karena mengarah pada pembukaan tabir rahasia. Manusia Indonesia mungkin rahasia, karena tidak mungkin diartikan sampai pada pengertian paripurna. Siapa “menemukan” manusia Indonesia? Pertanyaan ini mengandung tendensi untuk mencari tahu siapa “perumus” atas sosok manusia Indonesia. Indonesia dalam kepentingan pelacakan ini kerap dilekatkan sebagai ruang politis, geografis, ekonomis, dan kultural. Para pengembara pada masa silam memiliki pelbagai catatan untuk mengenali sosok-sosok manusia di negeri ini. 

Pengamatan dan perbedaan konstruksi pencitraan, membuat pengabaran tentang manusia Indonesia di negeri-negeri lain kerap mengandung bias. Pengembara “menemukan” manusia Indonesia, lalu dituliskan dalam catatan atau berita. Manusia Indonesia terekam dalam lembaran-lembaran kata, gambar, atau foto. Penemuan manusia Indonesia terus bertambah dengan kerja politik, antropologi, ekonomi, kesenian, pariwisata, atau agama. Gambaran menarik tersimpan rapi, narasi berbau “kolonial” termaktub dalam catatan-catatan antropologi. Mereka, antropolog asing, tekun mengamati sosok manusia-manusia, dibedakan-diklasifikasikan dengan sekian ciri unik. Pendefinisian dilakukan, meskipun sekadar mencari persamaan dan perbedaan, saat dibandingkan dengan manusia-manusia di negeri lain. Kerja ini terasa kompleks, tapi telah membuka pintu besar untuk “menemukan” manusia Indonesia. Antropolog adalah “penemu”, meski kerap salah dan gagal menetapkan definisi resmi manusia Indonesia. Kehadiran para pedagang, penyebar agama, ilmuwan, dan kaum kolonial juga meninggalkan jejak-jejak ikhtiar mereka untuk mengenali manusia-manusia di negeri ini. Mereka mungkin tidak merasa “menemukan” manusia Indonesia, tapi rintisan melalui definisi yang menerangkan postur tubuh, kulit, bahasa, gaya hidup, pakaian, atau ritus menjadi prolog proyek pembakuan. Penemuan manusia Indonesia memang tampak ganjil, seolah manusia Indonesia itu ada, dan bisa dikatakan hadir karena otoritas orang dari negeri seberang dalam melakukan pencatatan dan pengisahan. 

Cara pikir ini mungkin ironis dan meremehkan. Bagaimana kesahihan ikhtiar menemukan manusia Indonesia dari perspektif orang luar? Manusia-manusia Indonesia dalam sekian abad memang membutuhkan sejenis “pengenalan resmi”, meski tidak permanent, untuk memberi batasan-batasan normatif. Pekerjaan para pengembara, penyebar agama, pedagang, antropolog, diplomat politik, juru warta, fotografer, atau seniman telah memberi kontribusi besar dalam proyek “menemukan” manusia Indonesia dengan sekian salah dan revisi. Warisan-warisan dari kerja keras mereka memang bakal aneh ketika dibaca dengan kesadaran politis dan kultural hari ini. Manusia Indonesia seperti makhluk inferior karena harus dijelaskan dari pandangan luar dan rentan dalam intervensi diri. Manusia Indonesia seperti tak bisa mengatakan diri melalui tulisan, gambar, atau kisah lisan. Efek inferiorisasi ini adalah pemicu keinsafan menemukan diri sendiri dengan tumpukan kesalahan dan kebenaran dari para pemula kendati mereka orang-orang asing. Manusia Indonesia menemukan diri sendiri, tentu saja merupakan idealitas dari kepemilikan identitas. Proyek ambisius ini susah direalisasikan, saat manusia-manusia di negeri ini tidak mengenali mekanisme dan medium. Dunia sendiri mungkin bias dirasakan dan diafirmasi, tapi bakal tak memberi apa-apa pada orang lain, ketika ingin menyapa dan mengenali dengan jagat pikir modern. 

Jejak-jejak dari pengenalan terhadap manusia Indonesia meski belum kental ada kemauan mengenali diri hadir dalam buku Orang Indonesia dan Orang Perancis dari Abad XVI sampai dengan Abad XX (2006) dengan editor Bernard Dorleans. Buku ini memunculkan citra manusia Indonesia oleh “mata” Prancis dalam pelbagai sisi kehidupan. Tulisan tentu menjadi pintu masuk modern untuk membaca kronologi proyek menemukan manusia Indonesia. Kabar terang begitu terasakan pada awal abad XX ketika manusia-manusia di negeri ini memiliki kompetensi menulis diri. Kesanggupan mengolah bahasa membuat mereka mafhum, bahwa tulisan bisa jadi cara mendefinisikan diri kendari masih harus ada dalam bayang-bayang kolonial. Usaha menemukan manusia Indonesia mulai bisa dikenali melalui sosok dan tulisan Hoesein Djajadiningrat, Noto Soeroto, Cipto Mangunkusumo, Ki Hajar Dewantara, Mas Marco Kartodikromo, Tirto Adhi Soerjo, Mohammad Hatta, Marah Rusli, Abdoel Moes, Soekarno, Muhammad Yamin, Amir Hamzah, dan lain-lain. Abad XX telah melahirkan kesadaran menemukan diri sendiri dengan klaim-klaim politik, sosial, ekonomi, agama, seni, dan kultural untuk disahkan sebagai manusia Indonesia. Babak menggegerkan terjadi ketika pada tahun 1970-an, ketika Mochtar Lubis mengeluarkan risalah kritis dan satir: Manusia Indonesia. Publik tersentak dan lekas menilik kembali sejarah diri, dalam bingkai dan labelitas Indonesia. Ikhtiar lain dilakukan oleh A. Teeuw dengan publikasi buku Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer (1997). Buku ini menjadi babak lanjutan dari proyek “menemukan” manusia Indonesia dalam pembacaan diri pengarang dan tokoh-tokoh dalam teks sastra. Proyek “menemukan” manusia Indonesia telah dibebani dengan pengesahan afirmasi atas nilai-nilai kemodernan, sebagai cara untuk membedakan dengan masa lalu dalam sorotan tradisional. 

Manusia Indonesia belum selesai ditemukan dan dirumuskan. Pendefinisian ulang atau revisi ternyata masih memerlukan otoritas orang asing, sebab ikhtiar menjelaskan diri memiliki keterbatasan, gara-gara perangkat ilmu pengetahuan dan operasionalisasi bahasa. Kerja keras untuk memunculkan kesadaran kritis dalam ikhtiar menemukan dan merumuskan diri dilakukan oleh Radhar Panca Dahana dengan publikasi buku Menjadi Manusia Indonesia (2001) dan Inikah Kita: Mozaik Manusia Indonesia (2007). Radhar Panca Dahana mengingatkan, tulisan sanggup menjadi prosedur menemukan diri, ketimbang dipecundangi sikap konsumtif terhadap pelbagai sihir modernitas. Siapa mau melanjutkan proyek “menemukan” atau menjadi manusia Indonesia?

Koran Tempo (18 Juli 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar