Laman

Senin, 09 Agustus 2010

Televisi, Teknologi Pengantar Ekstase

Oleh Mohamad Fauzi

TANPA teknologi televisi, perhelatan Piala Dunia 2010 bukan perhelatan sedunia karena hanya diikuti 32 negara. Teknologi menduniakan Piala Dunia. Dan, dengan teknologi, ajang sepakbola itu bisa dikatakan tak hanya berlangsung di Afrika Selatan, tetapi juga di layar televisi. Sebesar apa pun pertandingan, sebanyak apa pun penonton di lapangan, dan sekeras, seindah, dan secantik apa pun permainan tim, tak bakal mendunia tanpa teknologi media massa. Pele tidak akan hebat tanpa kehebatan televisi. Maradona tidak memiliki “tangan Tuhan” tanpa televisi yang mampu menayangulangkan, yang memberikan detail kecurangan itu. Ronaldo yang bergigi kelinci dan berambut kuncung tidak sehebat itu tanpa televisi. Atau, Messi tidak sehebat sekarang tanpa televisi. Analoginya, sehebat dan semerdu apa pun suara penyanyi tidak akan terkenal dan mendunia jika cuma menyanyi di kamar mandi. Sehebat apa pun pemain sepak bola jika hanya bermain di kampung dan tidak disiarkan televisi, tetap bukan pemain bintang dan hebat, apalagi mendunia. 

Penyanyi butuh teknologi untuk dikenal dan terkenal. Begitu juga pemain sepak bola. Popularitas dan mendunia mengandaikan keberadaan teknologi media massa televisi yang akan menghubungkan dengan penonton di seluruh dunia. Tak terbayangkan Piala Dunia tanpa teknologi yang masif seperti televisi. Ekstase Menonton Televisi membuat perhelatan olahraga terakbar di dunia itu bisa memasuki ruang keluarga, kafe, kamar kita, dan sebagainya. Kita berteriak, memaki, sedih, berseru, tertegun, diam, dan sebagainya karena pertandingan itu (seakan-akan) terjadi di depan mata. Tak ada beda antara menonton di stadion dan menyaksikan pertandingan depan televisi.

Dalam beberapa hal, penonton televisi bisa merasa lebih dekat karena pesawat itu memungkinkan menampilkan gambar close up dan menayangulangkan momen-momen penting. Jika digambarkan dalam adegan gerak lambat, berikut inilah yang terjadi saat kita berada di depan televisi. Di depan televisi, awalnya kita menyadari berjarak ribuan mil dari stadion pertandingan di Afrika Selatan. Kita masih bisa minum dan mengobrol dengan teman di samping kita. Pertandingan baru saja dimulai. Mata, pikiran, dan emosi kita terarah ke layar televisi. Perebutan bola antartim menyengit. Wasit mengiringi pergerakan bola. Suara riuh penonton di stadion terdengar. Pergerakan bola memasuki area lawan, bola diumpan ke dekat gawang, dari kaki ke kaki antarpemain setim, makin mendekati gawang lawan, makin mendekat ke gawang, diumpankan lagi, bola dikontrol melalui dada, kaki bersiap-siap menendang. Mata, pikiran, dan emosi kita fokus dan menyatu. Nafas kita tertahan. Pemain itu menendang ke gawang lawan, lalu kita berteriak keras sambil memukul meja. Ah, ternyata bola melenceng. Saat itulah kita mengalami ekstase komunikasi yang sesungguhnya; ekstase menonton. Kita menyaksikan dan menikmati ledakan penanda-penanda (signifiers) yang sebenarnya hanya titik-titik fiksel kecil, tetapi lebih nyata daripada pertandingan sesungguhnya di Afrika Selatan. Ya, lebih nyata daripada pertandingan sesungguhnya di lapangan hijau, karena penanda-penanda itu merangsang kita menciptakan kenyataan yang lebih menakjubkan di dalam kepala, wajah, dan bagian tubuh kita dalam bentuk ekspresi. Kita bisa menghilangkan dan mengabaikan kenyataan antara pertandingan di lapangan hijau dan “kenyataan” di layar televisi berkat teknologi. 

Di sinilah konsumsi teknologi televisi terjadi secara masif. Realitas Teknologis Sebagaimana kata Baudrillard (2004), televisi yang dikonsumsi secara tak sadar dan mendalam adalah skema yang harus dilaksanakan, yang dihubungkan dengan esensi teknik media dan esensi teknis pelipatgandaan kenyataan, kecanggihan teknologi, dengan tanda-tanda yang suksesif dan sepadan. Itulah transisi normal yang terprogram dan sangat luar biasa. Selain itu, terdapat peraturan inersia teknologi yang menyatakan bahwa makin dekat kebenaran dokumen, gambar yang dihasilkan teknologi televisi, kian bagus dan berarti dokumen itu sebagai kenyataan dan kebenaran. Karena, orang memburu kenyataan dengan warna, gambar hidup, dan lain sebagainya, meski makin dalam penyempurnaan teknik, realitas dunia pun kian hilang dan tergantikan realitas teknologis. Dan, untuk menghadirkan semua itu di Indonesia, triliunan rupiah dihabiskan. Mulai dari pengadaan teknologi canggih, pembayaran teknisi dan teknolog, sampai pembelian hak siaran yang sampai lebih dari Rp 500 miliar ñ pemegang hak siaran di Indonesia secara eksklusif dimiliki PT Electronic City Entertainment (ECE). Belum lagi miliaran rupiah untuk iklan dan berbagai pernik merchandise. ECE bahkan memberikan izin resmi nonton bareng di 1.300 lokasi. Semua itu untuk ekstase menonton. Maka, lupakan perdebatan tentang perlu atau tidak pemakaian teknologi pemantau di garis gawang yang akan merusak fairplay dan sportivitas dari sepak bola. Karena, menurut pendapat FIFA, teknologi itu akan menghambat kenikmatan penonton sepak bola dan menghambat ekstase di depan layar televisi. Ayo, bersama-sama ekstase!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar