Judul: Sastra
Bergelimang Makna
Penulis: Bandung
Mawardi
Penerbit: Jagat
Abjad, Solo
Cetakan: April,
2010
Tebal: 176
halaman
Barangkalai tidak salah jika dikatakan: karya sastra pada
awal dan dasarnya adalah untuk dibaca-dinikmati, dibaca-digumuli, dan dibaca-dihayati.
Dan itulah yang akan ditemukan dalam buku Sastra Bergelimang Makna. Buku kumpulan tujuh esai tesebut sangat
kentara sekali untuk memperlakukan sastra sebagai pengalaman. Pengalaman selalu
mengandaikan tubuh yang bergelut dengan waktu, sejarah diri, perkembangan
pemikiran, dan dunia yang mengada dalam kehidupan sastrawan/penyair. Karena, secara retrospektif, dari sana
karya lahir.
Maka ”teknik”
pembacaan sastra yang berbasis pada pengalaman ini berangkat dari dalam sejarah
diri pengarang dan karya sastra yang dibuatnya. Sejarah diri sastrawan/penyair
dijadikan patokan awal untuk masuk dalam karya sastranya. Di sini, proses
terciptanya sebuah karya sastra menjadi penting. Proses kreatif menjadi semacam
acuan dan ancangan untuk membaca karya sastra. Membaca sastra: membaca sejarah
diri pengarang. Dengan demikian, pembacaan sastra berangkat, meski tidak
sepenuhnya, dari subjektivitas. Sastra diperlakukan sebagai subjek bukan objek.
Dalam perjalanan
telaah sastra Indonesia, ada dua model atau pola telaah yang kecenderungan
saling menjauh satu dengan yang lain. Yang pertama hendak menjadikan dan
memperlakukan sastra sebagai objek kajian. Yang kedua sastra hendak
mengembalikan pada fungsi awalnya yaitu sastra sebagai bentuk berkesenian,
berkemanusiaan, dan dengan demikian untuk memanusiakan manusia. Yang pertama
berbasis dan berasumsi tentang objektivitas, sastra yang mengandung realitas
objektif. Yang kedua hendak membebaskan dan membesarkan subjektivitas manusia,
sastra sebagai pengalaman diri manusia yang tidak sepenuhnya objektif.
Pada tahun 90-an
model yang pertama sering diwakili oleh kalangan mahasiswa atau akademisi
kampus. Mereka membedah sastra dengan berbagai teori keilmuan, mencari obejktivitasnya.
Model seperti ini bertahan sampai sekarang, meski pemikiran strukturalisme
banyak mengandung beberapa kelemahan.
Dalam model yang
pertama ini, sang pengarang dibunuh dan karyanya dihidupkan. Tidak ada
kreativitas atau orisinalitas sebuah karya dari seorang pengarang. Pengarang
hanya sekadar pembaca (tukang fotokopi) realitas dan mengungkapkannya dalam
karya sastra.
Sedangkan model
yang kedua adalah ’kritik sastra’ pada masa awal perkembangan sastra Indonesia
dan banyak dilakukan oleh para sastrawan sendiri. Seringkali, model kritik
sastra ini dituduh tidak lebih dari sekadar bentuk apresiasi antar para
pengarang sendiri.
Dalam esai-esai
Bandung Mawardi, ada kegigihan untuk terus-menerus berada dalam ketegangan
antara dua kutup itu. Pengarang dan karyanya hendak dihidupkan sekaligus. Di
sini, kita ingat pembelaan H. B. Jassin (1970) terhadap karya Langit Makin
Mendung yang kontroversial itu, ”Suatu karya berhak untuk merdeka, seperti
seniman mempunyai hak untuk merdeka. Suatu karya haruslah dianggap sebagai alat
penggugah pikiran, disetujui ataupun tidak disetujui isinya, masing-masing
orang berhak untuk menyenanginya atau tidak menyenanginya, tapi orang tidak
berhak menghancurkannya, seperti orang juga tidak berhak untuk membunuhnya.”
Tentu, pembelaan
Jassin di atas datang di saat kritik sastra kita masih belum (?) begitu
digegerkan oleh ”Matinya Sang Pengarang”. Pernyataan Jassin itu masih ’sebatas’
sebuah sikap apresiator atau pembela sastra(wan), bukan sebagai pembedah
objektivitas sastra.
Dalam buku Sastra
Begelimang Makna, pengarang dan karya benar-benar dihidupkan kembali secara
serentak, melalui pendalaman biografi pengarang dan penguasan ilmu-ilmu
humaniora Bandung. Di sini, kita seakan dibawa pada aroma cultural studies.
Dalam cultural studies, penelaah/kritikus sastra berangkat dari
kesadaran teori/metodis, dengan berbagai campuran perspektif. Sastra
diposisikan sebagai teks yang timbul dalam suatu konteks (masyarakat). Posisi
karya sastra masih dijadikan sebagai objek.
Berbeda dengan cultural
studies, tujuh esai dalam buku tersebut berangkat dari kesadaran biografis.
Pembacaan dan penelaahan karya sastra berangkat dari sosok atau tokoh
pengarangnya, berikut yang melingkupinya terutama dalam proses kreatif
penulisan karya sastra. Model pendekatan ini hampir mirip dengan asumsi dasar filsafat
romantis, yaitu bahwa pikiran (tempat pertama kalinya karya sastra dibayangkan)
adalah kesadaran kreatif yang bekerja pada setiap individu (pengarang). Rumah,
anak, orang tua, tubuh, pergulatan pikiran dan batin, singkatnya segala
unsur-unsur biografi, menjadi unsur-unsur yang penting untuk dijadikan data dan
acuan penetelaahan sastra.
Sebagai contoh,
pada esai pertama Rumah, Puisi, Penyair, kita dihadapkan pada sejarah
diri seorang penyair, keterkaitan-keterlepasan, pergulatan-pengabaian, dan
pengaruh rumah terhadap puisi-puisinya. Di sini, seorang penyair ditilik dari
ketegangannya dengan rumah sebagai awalan dan acuan untuk membaca karya-karya
mereka. Biografi, sejarah diri pengarang dan sebagainya menjadi penting.
Yang menarik dari
ketujuh esai ini adalah esai Putri Cina: Tanah, Wajah, Darah. Dalam esai
yang mengulas karya Shindunata ini, Bandung Mawardi mendekati karya sastra, Putri
China, dengan teks non-sastra yang ditulis Shindunata sendiri. Di sini
memang terkesan seakan esais sekadar melakukan konfirmasi-afirmasi antar teks
yang berbeda dan menyamakan satu dengan yang lainnya. Namun bukan sebagai
’teori’ atau pendekatan metodis meski Shindunata juga menulis tentang teori
kambing hitamnya Rene Girard. Teori kambing hitam Rene Girard, sejarah babad putri
Cina, fenomenologi eksistensial, karya lukis, dan sebagainya digunakan sebagai
pisau analisis dan pemberangkatan penelaahan sastra secara ideografis.
Terakhir, dalam
batas-batas tertentu, buku ini merupakan salah satu kritik sastra Indonesia yang
berhasil bergerak di antara dua kutup kekuatan tarik ulur subjektivitas dan
objektivitas. Objektivitas dan subjektivitas hendak dilebur dan benturkan
karena karya sastra dan pengarang harus terus hidup dan dihidupi. Inilah
perlakuan dan sikap inklusif seorang esais terhadap pengarang dan karya sastra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar