Laman

Senin, 23 Agustus 2010

Membaca Tafsir Sastra Inklusif


 Oleh Mohamad Fauzi



Judul: Sastra Bergelimang Makna
Penulis: Bandung Mawardi
Penerbit: Jagat Abjad, Solo
Cetakan: April, 2010
Tebal: 176 halaman  

Barangkalai tidak salah jika dikatakan: karya sastra pada awal dan dasarnya adalah untuk dibaca-dinikmati, dibaca-digumuli, dan dibaca-dihayati. Dan itulah yang akan ditemukan dalam buku Sastra Bergelimang Makna.  Buku kumpulan tujuh esai tesebut sangat kentara sekali untuk memperlakukan sastra sebagai pengalaman. Pengalaman selalu mengandaikan tubuh yang bergelut dengan waktu, sejarah diri, perkembangan pemikiran, dan dunia yang mengada dalam kehidupan sastrawan/penyair. Karena, secara retrospektif, dari sana karya lahir.

Maka ”teknik” pembacaan sastra yang berbasis pada pengalaman ini berangkat dari dalam sejarah diri pengarang dan karya sastra yang dibuatnya. Sejarah diri sastrawan/penyair dijadikan patokan awal untuk masuk dalam karya sastranya. Di sini, proses terciptanya sebuah karya sastra menjadi penting. Proses kreatif menjadi semacam acuan dan ancangan untuk membaca karya sastra. Membaca sastra: membaca sejarah diri pengarang. Dengan demikian, pembacaan sastra berangkat, meski tidak sepenuhnya, dari subjektivitas. Sastra diperlakukan sebagai subjek bukan objek.

Dalam perjalanan telaah sastra Indonesia, ada dua model atau pola telaah yang kecenderungan saling menjauh satu dengan yang lain. Yang pertama hendak menjadikan dan memperlakukan sastra sebagai objek kajian. Yang kedua sastra hendak mengembalikan pada fungsi awalnya yaitu sastra sebagai bentuk berkesenian, berkemanusiaan, dan dengan demikian untuk memanusiakan manusia. Yang pertama berbasis dan berasumsi tentang objektivitas, sastra yang mengandung realitas objektif. Yang kedua hendak membebaskan dan membesarkan subjektivitas manusia, sastra sebagai pengalaman diri manusia yang tidak sepenuhnya objektif.

Pada tahun 90-an model yang pertama sering diwakili oleh kalangan mahasiswa atau akademisi kampus. Mereka membedah sastra dengan berbagai teori keilmuan, mencari obejktivitasnya. Model seperti ini bertahan sampai sekarang, meski pemikiran strukturalisme banyak mengandung beberapa kelemahan.

Dalam model yang pertama ini, sang pengarang dibunuh dan karyanya dihidupkan. Tidak ada kreativitas atau orisinalitas sebuah karya dari seorang pengarang. Pengarang hanya sekadar pembaca (tukang fotokopi) realitas dan mengungkapkannya dalam karya sastra.

Sedangkan model yang kedua adalah ’kritik sastra’ pada masa awal perkembangan sastra Indonesia dan banyak dilakukan oleh para sastrawan sendiri. Seringkali, model kritik sastra ini dituduh tidak lebih dari sekadar bentuk apresiasi antar para pengarang sendiri.

Dalam esai-esai Bandung Mawardi, ada kegigihan untuk terus-menerus berada dalam ketegangan antara dua kutup itu. Pengarang dan karyanya hendak dihidupkan sekaligus. Di sini, kita ingat pembelaan H. B. Jassin (1970) terhadap karya Langit Makin Mendung yang kontroversial itu, ”Suatu karya berhak untuk merdeka, seperti seniman mempunyai hak untuk merdeka. Suatu karya haruslah dianggap sebagai alat penggugah pikiran, disetujui ataupun tidak disetujui isinya, masing-masing orang berhak untuk menyenanginya atau tidak menyenanginya, tapi orang tidak berhak menghancurkannya, seperti orang juga tidak berhak untuk membunuhnya.”

Tentu, pembelaan Jassin di atas datang di saat kritik sastra kita masih belum (?) begitu digegerkan oleh ”Matinya Sang Pengarang”. Pernyataan Jassin itu masih ’sebatas’ sebuah sikap apresiator atau pembela sastra(wan), bukan sebagai pembedah objektivitas sastra.

Dalam buku Sastra Begelimang Makna, pengarang dan karya benar-benar dihidupkan kembali secara serentak, melalui pendalaman biografi pengarang dan penguasan ilmu-ilmu humaniora Bandung. Di sini, kita seakan dibawa pada aroma cultural studies. Dalam cultural studies, penelaah/kritikus sastra berangkat dari kesadaran teori/metodis, dengan berbagai campuran perspektif. Sastra diposisikan sebagai teks yang timbul dalam suatu konteks (masyarakat). Posisi karya sastra masih dijadikan sebagai objek.

Berbeda dengan cultural studies, tujuh esai dalam buku tersebut berangkat dari kesadaran biografis. Pembacaan dan penelaahan karya sastra berangkat dari sosok atau tokoh pengarangnya, berikut yang melingkupinya terutama dalam proses kreatif penulisan karya sastra. Model pendekatan ini hampir mirip dengan asumsi dasar filsafat romantis, yaitu bahwa pikiran (tempat pertama kalinya karya sastra dibayangkan) adalah kesadaran kreatif yang bekerja pada setiap individu (pengarang). Rumah, anak, orang tua, tubuh, pergulatan pikiran dan batin, singkatnya segala unsur-unsur biografi, menjadi unsur-unsur yang penting untuk dijadikan data dan acuan penetelaahan sastra.

Sebagai contoh, pada esai pertama Rumah, Puisi, Penyair, kita dihadapkan pada sejarah diri seorang penyair, keterkaitan-keterlepasan, pergulatan-pengabaian, dan pengaruh rumah terhadap puisi-puisinya. Di sini, seorang penyair ditilik dari ketegangannya dengan rumah sebagai awalan dan acuan untuk membaca karya-karya mereka. Biografi, sejarah diri pengarang dan sebagainya menjadi penting.

Yang menarik dari ketujuh esai ini adalah esai Putri Cina: Tanah, Wajah, Darah. Dalam esai yang mengulas karya Shindunata ini, Bandung Mawardi mendekati karya sastra, Putri China, dengan teks non-sastra yang ditulis Shindunata sendiri. Di sini memang terkesan seakan esais sekadar melakukan konfirmasi-afirmasi antar teks yang berbeda dan menyamakan satu dengan yang lainnya. Namun bukan sebagai ’teori’ atau pendekatan metodis meski Shindunata juga menulis tentang teori kambing hitamnya Rene Girard. Teori kambing hitam Rene Girard, sejarah babad putri Cina, fenomenologi eksistensial, karya lukis, dan sebagainya digunakan sebagai pisau analisis dan pemberangkatan penelaahan sastra secara ideografis.

Terakhir, dalam batas-batas tertentu, buku ini merupakan salah satu kritik sastra Indonesia yang berhasil bergerak di antara dua kutup kekuatan tarik ulur subjektivitas dan objektivitas. Objektivitas dan subjektivitas hendak dilebur dan benturkan karena karya sastra dan pengarang harus terus hidup dan dihidupi. Inilah perlakuan dan sikap inklusif seorang esais terhadap pengarang dan karya sastra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar