Laman

Senin, 09 Agustus 2010

Kisah Sang Payudara

Oleh Fanny Chotimah

PARA feminis AS melakukan aksi Boobquake yang menghebohkan, Senin, 26 April. Dalam aksi itu, mereka memamerkan payudara. Lewat situs jejaring facebook, 55.000 orang perempuan menyatakan siap berpartisipasi sebagai relawan. Mereka menujukan aksi itu sebagai serangan pada Kazem Sedighi, ulama Iran yang menghubungkan cara perempuan berpakaian dan gempa bumi. Jennifer McCreight, feminis ateis, berang dan memimpin aksi itu. Sejarah peradaban manusia pernah menempatkan perempuan dalam posisi sakral. Perempuan diagungkan sebagai empu yang melahirkan. Perempuan dianggap lambang kesuburan. Secara fisik, pembeda perempuan dan laki-laki adalah bentuk payudara dan kelamin. Payudara perempuan berkembang jadi besar, sedangkan laki-laki tidak. Laki-laki memiliki penis, sedangkan perempuan punya vagina dengan selaput keperawanan. Namun, sesungguhnya, siapa yang menilai tubuh perempuan? Dilihat dari penamaan, payudara diambil dari bahasa Jawa Kawi. “Payu” berarti laku dan “dara” berarti wanita. Jadi dari segi penamaan bahasa saja, daging yang menggelantung di tubuh perempuan itu sudah dijadikan komoditas. Persoalan payudara jadi lebih kompleks di dunia kapitalistik saat ini. 

Naning Pranoto dalam buku HERStory Sejarah Perjalanan Payudara (2010) menyatakan, “Musuh yang paling menindas kaum perempuan adalah satu sistem kejam tetapi tidak berkelamin.” Sebelum aksi Boobquake, di AS ada organisasi Gotopless yang melakukan aksi protes 26 Agustus setiap tahun. Gotopless memperjuangkan persamaan hak bagi perempuan bertelanjang dada di tempat publik seperti lelaki. Bagi mereka, payudara sama dengan organ tubuh lain seperti tangan dan kaki. Jadi perempuan tak perlu malu dan menutupi agar kelak lelaki bisa membedakan ketelanjangan dan kesensualan. Lelaki diharapkan bisa mengontrol diri melihat pemandangan itu seperti melihat perempuan berok mini. Laki-laki harus bisa mengendalikan diri dengan menunjukkan rasa hormat. Jauh sebelumnya, tahun 1968, feminis di AS melakukan aksi Burning Bra. Para aktivis membakar bra, semua gambar bra, serta iklan bra di majalah. Mereka menolak standardisasi kecantikan. Aksi itu pun merupakan perlawanan terhadap kapitalisme. Terjadi perubahan dalam sejarah mode perempuan. Banyak perempuan berhenti memakai bra atau berhenti membeli lebih.

Ingatkah pada sosok Ni Pollok? Dialah penari Bali dan model lukis yang bersuami Adrien Jean Le Mayeur de Merpres. Pelukis asal Belgia itu jatuh cinta pada sepasang payudara indah Pollok, yang jadi inspirasi dalam lukisannya. Lewat novel Ni Pollok, Yati Maryati Wiharja menceritakan kisah hidup Ni Pollok. Dalam novel tersebut ada informasi menarik bahwa saat kali pertama Le Mayeur mengunjungi Bali, tahun 1932, perempuan di pulau itu masih bertelanjang dada dengan bebas, apalagi di rumah. “Gadis-gadis enak saja dengan dadanya yang telanjang. Tak pernah terjadi seorang lelaki Bali menatap buah dada wanita dengan sinar mata kaget, kagum atau gairah. Semuanya biasa. Tidak ada yang malu. Tak ada yang kagum,” tulis Yati. Cita-cita yang diusung Gotopless pernah terjadi dulu di Bali. Sekarang, apakah Gotopless hendak membawa perempuan kembali ke kondisi primitif? Saya rasa tidak.

Saya percaya manusia sangat dinamis menyikapi perubahan zaman. Namun teknologi bra harus dipertanyakan ulang. Jika fungsi bra hanya untuk menutupi, alangkah tak berguna. Apalagi jika tak ada fungsi yang signifikan. Alasan medis dan estetis bahwa bra membuat payudara tetap kencang tak melorot, sungguh tak masuk akal. Sebab, secara alami seiring pertambahan usia, payudara akan melorot. Masa subur payudara berlangsung saat perempuan berusia 25-35 tahun. Ditambah faktor menyusui dan gravitasi tentu payudara akan melorot.

Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, pemerintah melarang perempuan Bali bertelanjang dada, kecuali untuk kegiatan seni. Ni Pollok pun risi saat harus bertelanjang dada di pantai, saat banyak pemuda berkeliaran. Apa kata Ni Pollok soal bertelanjang dada? “Apakah itu terjadi karena udara di Bali amat panas, atau hanya karena kebiasaan, aku tak pernah tahu dan tak pernah ingin tahu. Bertelanjang dada adalah biasa.” Memang susah melacak sejarah perjalanan payudara perempuan kita. Sedikit sekali sumber teks tertulis menjadi salah satu kendala. Saya pikir kajian mengenai payudara perlu terus digali agar perempuan menyadari sejarah dirinya. Jadi, bisa lahir sikap yang sejati, tak sekadar ikut-ikutan, mengekor, atau menyerah dan tak berbuat apa-apa.

Dimuat di Rubrik Genderang Gender Suara Merdeka 5 Mei 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar