Laman

Rabu, 11 Agustus 2010

PECANDU BURSA KERJA

Oleh Asni Furaida

Manusia hidup sebagian besar untuk berkarya sesuai dengan bakat dan minatnya. Karya manusia pada zaman sekarang ini selalu diasosiasikan dengan bekerja. Manusia bekerja bukan lagi untuk menandai eksistensinya sebagai manusia itu sendiri, tapi sudah bergeser tujuan menjadi pencari nafkah untuk kelangsungan hidupnya. Bahkan, manusia rela bekerja membanting tulang dan memeras keringat untuk hal tersebut.

Pada zaman teknologi dan globalisasi sekarang ini, dimana tingkat pengangguran semakin tajam, yang hal ini berakibat pula semakin tajamnya persaingan untuk mencari pekerjaan tersebut, bursa kerja seakan tidak pernah sepi dari langganan. Para langganan yang biasanya antri dalam bursa kerja tersebut kebanyakan adalah mahasiswa semester akhir atau fresh graduate, mahasiswa yang baru saja lulus. Mereka dengan ikhlas dan berbesar hati mengantri dalam bursa kerja, dari pagi hingga sore.

Mereka bahkan harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit, mulai dari tiket masuk hingga  uang fotokopi kelengkapan administrasi melamar kerja.
Hal yang sangat lumrah dalam bursa kerja itu dimotori oleh sebuah event organizer yang menggandeng beberapa perusahaan yang membutuhkan para pegawai baru. Para perusahaan yang mencari pegawai baru itupun harus mengeluarkan uang khusus, mulai dari uang iklan dan uang sewa bilik dalam bursa kerja. Ternyata mencari para pegawaipun sangat sulit bagi perusahaan-perusahaan tersebut padahal jumlah pengangguran di Indonesia dari tahun ke tahun selalu meningkat dan kebanyakan pengangguran itu adalah mahasiswa.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memproyeksikan angka pengangguran pada 2009 naik menjadi 9%, dari angka pengangguran 2008 sebesar 8,5%. Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penganggur pada Februari 2008 telah tercatat sebesar 9,43 juta orang. Pada data tersebut, pengangguran di Indonesia bisa dianalogikan dalam suatu lingkaran setan para pencari kerja dan perusahaan yang mencari pegawai. Lingkaran setan ini hingga saat ini belum menemukan solusi yang tepat dan benar. Hingga, bursa pasar kerja dari yang ada di koran dan di job fair selalu menjadi agenda harian yang dipenuhi oleh langganan mahasiswa pencari kerja tersebut.

Melihat kenyataan di atas, ada sedikit pertanyaan yang mengganjal dalam lubuk hati kita? Jika pengangguran yang ada di Indonesia adalah mahasiswa, maka secara logika, kita memiliki pengangguran intelektual yang sangat berlimpah. Hal ini sangat selaras sekali dengan adanya tawaran kerja yang bejibun di koran maupun di job fair.  Lalu ironisnya, pengangguran dan permintaan kerja semakin meningkat dari tahun ke tahun? Apakah berbagai perusahaan pencari kerja tersebut tidak juga menemukan pelamar yang pas? Begitu juga sebaliknya, apakah para mahasiswa pencari kerja tersebut tidak diterima kerja oleh para pencari kerja tersebut?
Ada sedikit keanehan yang dapat ditemukan dalam lingkaran setan ini. Jawaban dari keanehan itu adalah ketidakkompetennya mahasiswa dan sarjana sekarang ini.

Para mahasiswa yang berebut pasar kerja ini kebanyakan mahasiswa manja yang mencoba memenuhi mimpi mereka bekerja dengan pekerjaan yang mudah, tempat kerja yang juga harus di daerahnya serta gaji yang tinggi. Pada kenyataannya,  mencari kerja bukanlah untuk memenuhi mimpi-mimpi mereka, yakni pekerjaan yang ideal. Hingga dampakya para mahasiswa itu berstatus menjadi para pencari kerja abadi, yang selalu ramai dalam bursa pasar kerja.

Kalau para mahasiswa pencari kerja tersebut menyadari, bekerja memerlukan suatu keberanian dan pengorbanan dari jiwa dan raga, maka masalah pengangguran mahasiswa yang berlarut-larut ini niscaya berkurang. Para mahasiswa dan sarjana ini berani mengarungi daerah lain untuk bekerja, seperti layaknya kita tahu tipikal orang-orang Amerika yang tidak takut pindah rumah atau daerah hanya untuk memenuhi panggilan kerja mereka. Sedangkan mahasiswa dan sarjana pencari kerja di Indonesia selalu menunggu pekerjaan impian mereka.

Kenyataan memang akan selalu pahit, tapi kepahitan itu akan berbuah madu, jika kita mencoba mengurai benang kusut dari lingkaran setan ini. Jika yang menjadi permasalahan adalah mahasiswa yang berebut pasar kerja, mengapa para mahasiswa dan sarjana ini yang notabene para intelek tidak menciptakan lapangan kerja sendiri sesuai dengan praktik keilmuan mereka? Dengan melakukan hal tersebut, mahasiswa malah akan menjadi agen penyedia pasar kerja untuk yang lain. Mahasiswa seharusnya memikirkan tentang hal tersebut dan jangan malah meramaikan bursa pasar kerja. Janganlah menjadi pecandu bursa kerja!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar