Oleh Bandung Mawardi
Solo
menjelma jadi kota festival. Agenda festival sepanjang 2010 menjadi
bukti kemauan Solo mewartakan diri sebagai kota yang hendak memikat
dunia. Ambisi ini mungkin memang mengandaikan proyek kultural kendati
ada pamrih menjadikan Solo sebagai lahan investasi atau kota
pelancongan. Nalar ekonomi dan pariwisata masuk dalam konstruksi Solo
sebagai kota festival. Penentuan jadwal, materi, visi, atau misi dari
sekian festival kentara mengolah adonan pelbagai kepentingan ekonomi,
seni, politik, pariwisata, pendidikan, dan kultural.
Catatan atas
pencapaian dan kelemahan festival-festival di Solo menandakan ada
kesamaran dalam pemahaman konsep dan aplikasi. Pencapaian tampak dari
pemartabatan tradisi lokal, kampung, dan etnik. Kelemahan pun tampak
dalam pembuatan desain dan kesadaran dalam pembentukan jejaring dengan
festival di kota atau negara lain. Ambisi Solo menjadi kota festival
sedang ingin dibuktikan. Joko Widodo selaku Wali Kota Solo optimistis,
rangkaian festival bakal menjadi investasi untuk meningkatkan reputasi
kota (Kompas, 24 Juli 2010).
Publik memang terkesima dengan
rangkaian festival bertaraf lokal, nasional, atau internasional selama
2010. Sebut misalnya Solo International Ethnic Music (SIEM), Solo
Menari, Festival Seni Kampung Solo, Solo Culinary Festival, Solo
International Performing Art (SIPA), Solo Keroncong Festival, Festival
Teater SMA, Festival Kethoprak Remaja, dan Festival Dalang Anak.
Penamaan dan pemaknaan festival itu patut dipertanyakan ulang. Pemakaian
bahasa pun bisa menjadi indikasi dari orientasi proyek festival di
Solo.
Festival
Istilah festival dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (2005) diartikan sebagai hari atau pekan gembira
dalam rangka peringatan peristiwa penting dan bersejarah atau pesta
rakyat. Definisi ini sudah mengesankan bahwa agenda festival di Solo
memang cenderung untuk menjelma sebagai pesta rakyat. Pembuktian ini
tampak dari pilihan tempat, tema, tiket gratis, dan antusiasme
partisipasi publik. Pembenaran ini juga menyisakan tanya dalam urusan
pilihan sajian, seniman, atau format.
Festival-festival dengan
taraf internasional kadang kurang membumi alias sekadar menghadirkan
tontonan dalam keterasingan mengacu pada kesadaran lokalitas. Klaim atas
etnik atau tradisi lokal kerap terkooptasi oleh garapan-garapan modern
atau kontemporer. Dua istilah ini mungkin rancu tapi bisa memberi
indikasi tentang kepentingan sekadar menjadikan tradisi atau lokalitas
sebagai tempelan atau dekorasi dalam sajian festival.
Muatan
kultural dalam sekian festival memang kental sebagai pengabar dari
identitas kota. Misi ini kadang kurang terpahami publik karena lemah
dalam komunikasi pesan dan penguraian tema dalam bahasa kelokalan.
Pilihan kata festival saja sudah membuat orang curiga karena istilah
merepresentasikan kemauan dari acara. Istilah ini laris dijadikan
sebagai label acara di pelbagai kota tapi kadang abai dengan tarikan
untuk memaknai secara lokal-membumi. Festival memang istilah asing
(Latin) kendati rangkaian acara seni-kultural mirip festival telah ada
di Nusantara ini sejak lama. Penamaan jadi urusan penting untuk menilik
batas sadar, peka kultural, dan penggapaian utopia.
Pemaknaan
festival pada masa sekarang secara substansial mengarah pada pemenuhan
ekspresi spiritual, seni, ekonomi, pendidikan, identitas, dan
pariwisata. Persaingan kepentingan rentan terjadi jika terdapat
pemisahan atau hierarki pamrih. St Sunardi (2005) mengingatkan,
kegandrungan mengadakan festival di Indonesia malah menimbulkan tanya
pelik. Festival semula mengacu pada ritual. Kondisi ini berubah dalam
tatanan modern. Festival mulai identik dengan kekuasaan. Pemaknaan
festival sebagai pesta rakyat telah terkendalikan oleh sistem kekuasaan.
Penyelenggaraan festival membutuhkan kekuasaan. Kekuasaan butuh ritual
sehingga perlu membuat festival. Apakah ini bakal jadi doktrin? Sunardi
malah memberi kritik pedas: "Festival akan melemah dan mati sejauh
festival hanya menjadi ritus kekuasaan." Kritik
Kritik ini bisa
jadi acuan untuk mengomentari ekstase festival di Solo. Pemerintah kota
memang identik dengan sekian festival dan memiliki peran penting.
Perhatian ini bisa diartikan sebagai bentuk kemauan kekuasaan untuk
memberi restu, modal, dan aturan. Konsekuensi dari andil ini adalah
kemunculan efek kompleks dalam nalar ekonomi, kultural, politik, atau
pendidikan. Festival-festival di Solo memang kerap melibatkan pemerintah
kota tapi batas dari intervensi tampak samar karena berkelindan dengan
partisipasi dari pelbagai kalangan: pengusaha, tokoh partai, tokoh
agama, intelektual, atau budayawan. Kepentingan diolah bareng untuk
diatasnamakan sebagai "kemauan" atau "pengharapan" dari publik.
Kegandrungan
membuat festival kentara dipengaruhi oleh efek dari sekian festival
pada tahun-tahun lalu. Antusiasme publik secara kuantitatif dan
kualitatif ikut membuat kota jadi moncer. Kehadiran seniman-seniman dari
pelbagai kota dan negara menjadikan Solo sebagai taman pertemuan
kultural. Pelaksanaan agenda-agenda internasional di Solo pun dijadikan
sebagai target mendapati apresiasi. Efek ekonomi dalam investasi atau
pariwisata adalah indikasi logis dari peran festival. Promosi dan
penyadaran kolektif tentang lokalitas atau tradisi mungkin jadi argumen
menantang.
Ekstase festival ikut mengubah dan memberi pengaruh
dari pertumbuhan kota. Persemaian tradisi menemukan jalan terang dan
agenda modernitas pun melenggang dengan girang. Proyek Solo sebagai kota
festival memang ambisius karena memerlukan modal dan politik. Kota
tekun didandani untuk molek. Publik disuguhi pola identifikasi diri
dalam kesanggupan melakukan aktivitas hidup di kota gara-gara festival.
Perubahan-perubahan
ini perlu dijadikan sebagai dalil untuk melakukan penilaian kritis dan
progresif agar kota festival tidak sekadar jadi lahan permainan nalar
ekonomistik, pariwisataisme, atau arogansi kekuasaan. Festival sebagai
ritual atau pesta rakyat patut diamini tapi penamaan dan pamrih
memerlukan kesadaran bahasa agar pergulatan identitas tidak sekadar jadi
catatan kaki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar