Laman

Rabu, 11 Agustus 2010

Solo (Ekstase) Festival

Oleh Bandung Mawardi

Solo menjelma jadi kota festival. Agenda festival sepanjang 2010 menjadi bukti kemauan Solo mewartakan diri sebagai kota yang hendak memikat dunia. Ambisi ini mungkin memang mengandaikan proyek kultural kendati ada pamrih menjadikan Solo sebagai lahan investasi atau kota pelancongan. Nalar ekonomi dan pariwisata masuk dalam konstruksi Solo sebagai kota festival. Penentuan jadwal, materi, visi, atau misi dari sekian festival kentara mengolah adonan pelbagai kepentingan ekonomi, seni, politik, pariwisata, pendidikan, dan kultural.

Catatan atas pencapaian dan kelemahan festival-festival di Solo menandakan ada kesamaran dalam pemahaman konsep dan aplikasi. Pencapaian tampak dari pemartabatan tradisi lokal, kampung, dan etnik. Kelemahan pun tampak dalam pembuatan desain dan kesadaran dalam pembentukan jejaring dengan festival di kota atau negara lain. Ambisi Solo menjadi kota festival sedang ingin dibuktikan. Joko Widodo selaku Wali Kota Solo optimistis, rangkaian festival bakal menjadi investasi untuk meningkatkan reputasi kota (Kompas, 24 Juli 2010).

Publik memang terkesima dengan rangkaian festival bertaraf lokal, nasional, atau internasional selama 2010. Sebut misalnya Solo International Ethnic Music (SIEM), Solo Menari, Festival Seni Kampung Solo, Solo Culinary Festival, Solo International Performing Art (SIPA), Solo Keroncong Festival, Festival Teater SMA, Festival Kethoprak Remaja, dan Festival Dalang Anak. Penamaan dan pemaknaan festival itu patut dipertanyakan ulang. Pemakaian bahasa pun bisa menjadi indikasi dari orientasi proyek festival di Solo.

Festival

Istilah festival dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) diartikan sebagai hari atau pekan gembira dalam rangka peringatan peristiwa penting dan bersejarah atau pesta rakyat. Definisi ini sudah mengesankan bahwa agenda festival di Solo memang cenderung untuk menjelma sebagai pesta rakyat. Pembuktian ini tampak dari pilihan tempat, tema, tiket gratis, dan antusiasme partisipasi publik. Pembenaran ini juga menyisakan tanya dalam urusan pilihan sajian, seniman, atau format.

Festival-festival dengan taraf internasional kadang kurang membumi alias sekadar menghadirkan tontonan dalam keterasingan mengacu pada kesadaran lokalitas. Klaim atas etnik atau tradisi lokal kerap terkooptasi oleh garapan-garapan modern atau kontemporer. Dua istilah ini mungkin rancu tapi bisa memberi indikasi tentang kepentingan sekadar menjadikan tradisi atau lokalitas sebagai tempelan atau dekorasi dalam sajian festival.

Muatan kultural dalam sekian festival memang kental sebagai pengabar dari identitas kota. Misi ini kadang kurang terpahami publik karena lemah dalam komunikasi pesan dan penguraian tema dalam bahasa kelokalan. Pilihan kata festival saja sudah membuat orang curiga karena istilah merepresentasikan kemauan dari acara. Istilah ini laris dijadikan sebagai label acara di pelbagai kota tapi kadang abai dengan tarikan untuk memaknai secara lokal-membumi. Festival memang istilah asing (Latin) kendati rangkaian acara seni-kultural mirip festival telah ada di Nusantara ini sejak lama. Penamaan jadi urusan penting untuk menilik batas sadar, peka kultural, dan penggapaian utopia.

Pemaknaan festival pada masa sekarang secara substansial mengarah pada pemenuhan ekspresi spiritual, seni, ekonomi, pendidikan, identitas, dan pariwisata. Persaingan kepentingan rentan terjadi jika terdapat pemisahan atau hierarki pamrih. St Sunardi (2005) mengingatkan, kegandrungan mengadakan festival di Indonesia malah menimbulkan tanya pelik. Festival semula mengacu pada ritual. Kondisi ini berubah dalam tatanan modern. Festival mulai identik dengan kekuasaan. Pemaknaan festival sebagai pesta rakyat telah terkendalikan oleh sistem kekuasaan. Penyelenggaraan festival membutuhkan kekuasaan. Kekuasaan butuh ritual sehingga perlu membuat festival. Apakah ini bakal jadi doktrin? Sunardi malah memberi kritik pedas: "Festival akan melemah dan mati sejauh festival hanya menjadi ritus kekuasaan." Kritik
Kritik ini bisa jadi acuan untuk mengomentari ekstase festival di Solo. Pemerintah kota memang identik dengan sekian festival dan memiliki peran penting. Perhatian ini bisa diartikan sebagai bentuk kemauan kekuasaan untuk memberi restu, modal, dan aturan. Konsekuensi dari andil ini adalah kemunculan efek kompleks dalam nalar ekonomi, kultural, politik, atau pendidikan. Festival-festival di Solo memang kerap melibatkan pemerintah kota tapi batas dari intervensi tampak samar karena berkelindan dengan partisipasi dari pelbagai kalangan: pengusaha, tokoh partai, tokoh agama, intelektual, atau budayawan. Kepentingan diolah bareng untuk diatasnamakan sebagai "kemauan" atau "pengharapan" dari publik.

Kegandrungan membuat festival kentara dipengaruhi oleh efek dari sekian festival pada tahun-tahun lalu. Antusiasme publik secara kuantitatif dan kualitatif ikut membuat kota jadi moncer. Kehadiran seniman-seniman dari pelbagai kota dan negara menjadikan Solo sebagai taman pertemuan kultural. Pelaksanaan agenda-agenda internasional di Solo pun dijadikan sebagai target mendapati apresiasi. Efek ekonomi dalam investasi atau pariwisata adalah indikasi logis dari peran festival. Promosi dan penyadaran kolektif tentang lokalitas atau tradisi mungkin jadi argumen menantang.

Ekstase festival ikut mengubah dan memberi pengaruh dari pertumbuhan kota. Persemaian tradisi menemukan jalan terang dan agenda modernitas pun melenggang dengan girang. Proyek Solo sebagai kota festival memang ambisius karena memerlukan modal dan politik. Kota tekun didandani untuk molek. Publik disuguhi pola identifikasi diri dalam kesanggupan melakukan aktivitas hidup di kota gara-gara festival.
Perubahan-perubahan ini perlu dijadikan sebagai dalil untuk melakukan penilaian kritis dan progresif agar kota festival tidak sekadar jadi lahan permainan nalar ekonomistik, pariwisataisme, atau arogansi kekuasaan. Festival sebagai ritual atau pesta rakyat patut diamini tapi penamaan dan pamrih memerlukan kesadaran bahasa agar pergulatan identitas tidak sekadar jadi catatan kaki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar