Laman

Senin, 09 Agustus 2010

Yang Hilang yang Menjelang

Oleh Fanny Chotimah

SETIAP kali membaca esai soal perempuan tulisan lelaki, saya seperti bercermin. Saya dipaksa berkaca diri. Muncul tanda tanya besar yang membuat saya mencurigai lelaki yang mengikhlaskan hidup untuk mengurusi persoalan perempuan. Saya dibuat percaya pada pandangan mereka, yang tampak meyakinkan, untuk menjelaskan keperempuanan saya. Pantulan bayangan saya sebagai perempuan terasa asing dan tak utuh. Saya dihantui pertanyaan, siapa dan apakah saya? Di manakah dan sedang apakah perempuan yang lain, saat para lelaki bergairah menulis di atas tubuh kami dan berbicara meminjam bibir kami? Bagaimana berterima perempuan yang mengenali diri karena penjelasan dari para lelaki? Keberteri-maan yang kontradiktif itu masih sering kita alami, baik melalui televisi, koran, pengajian, seminar, penyuluhan, perkuliahan, maupun obrolan ringan di kampung.

Lelaki yang menjelaskan tentang perempuan tentu tak dapat mendalami sisi utuh perempuan. Mereka hanya mengenali perempuan dari yang tampak atau gejala, yang kemungkinan bisa jadi pembenar kriteria untuk menjelaskan tentang perempuan. Contoh menarik adalah tulisan Bandung Mawardi, “Perempuan Menjelaskan Perempuan” (Suara Merdeka, 25 April 2010), yang menyadarkan saya tentang ketidakjelasan posisi lelaki dan perempuan untuk menjelaskan perempuan. Sepertinya Bandung Mawardi mau memberikan cermin, meski membuat saya bertanya-tanya, “Dengan cara apa saya dapat percaya usulan untuk gerakan perempuan menjelaskan perempuan, jika usul itu dari lelaki yang kemungkinan besar juga dipengaruhi paradigma sebagai lelaki, bukan perempuan?”

Cermin itu membuat saya mencari agar penjelasan perempuan dapat kita terima, yang semestinya dilakukan perempuan dengan perspektif perempuan pula. Setidaknya Oka Rusmini dalam buku Pandora (2008) hadir untuk menyatakan diri keperempuanannya dalam puisi, “Bagaimana mungkin seorang penulis lelaki bisa merasakan hamil, ngidam atau melahirkan? Hal-hal seperti ini hanya bisa digarap oleh perempuan karena hanya bisa dipahami oleh perempuan.” Saya menyetujui pernyataan Oka Rusmini yang sadar selama ini tubuh perempuan dalam sastra hanya dijadikan objek, bukan subjek. Pergulatan Virginia Wolf dan Simone de Beauvoir menghasilkan pandangan bahwa sistem patriarkilah yang bersalah telah memosisikan perempuan sebagai makhluk lemah, sehingga tak tersedia kesempatan bagi perempuan. Saya bisa mengerti kondisi saat itu, dan sepertinya cara ekstrem harus ditempuh. Jalan bunuh diri dengan membunuh keperempuanan untuk jadi seperti laki-laki. Dengan berpakaian, berlaku, dan berkata seperti laki-laki. Sudah adakah karya besar yang lahir dari perempuan?

Tak Bahagia
Dalam artikel “So Why are So Many Women are Unhappy” dipertanyakan, mengapa banyak perempuan tak bahagia? Artikel itu menyajikan hasil penelitian bahwa perempuan di Barat saat ini mengalami sepuluh kali tingkat depresi daripada tahun 1945. Tak terbayangkan tingkat depresi yang akan dialami tahun 2020. Ternyata kesempatan akan kesetaraan yang makin terbuka bagi perempuan saat ini jadi bumerang. Sebab, mereka dituntut meraih pencapaian sama dengan lelaki di setiap bidang. Padahal, mereka tetap terikat urusan domestik sehingga beban peran ganda jadi berkali lipat. Carrol Gilligan lewat buku Dalam Suara yang Lain (1997) menggugat penilaian moral yang selama ini didominasi cara pandang lelaki. Tokoh perkembangan manusia, seperti Freud, Erikson, Kohlberg, memakai model lelaki dan tentu saja perspektif lelaki sebagai tolok ukur perkembangan manusia. Jadi baik lelaki maupun perempuan jika tak mencapai kriteria tolok ukur itu dianggap berkesadaran moral rendah atau gagal. Itu berangkat dari prinsip moral dalam diri perempuan.

Prinsip moral yang menyangkut kepedulian, kasih sayang, dan tanggung jawab pada orang lain. Carol Gilligan melahirkan teori etika kepedulian sebagai tolok ukur yang harus dipakai dalam menilai pencapaian perkembangan etika dan moral perempuan. Terbukti, perempuan dan lelaki berbeda. Tak hanya dari segi biologis, tetapi juga dalam perkembangan psikologis. Perbedaan itu tak bisa dijadikan pembenaran bahwa yang satu lemah dan yang lain lebih kuat sehingga satu pihak mendominasi pihak lain. Sampai kapan perempuan hanya puas berperan sebagai inspirasi dalam kelahiran karya besar? Tak sadarkah perempuan bahwa dia sebuah karya? Sebuah karya besar menunggu dilahirkan dari perempuan. Menunggu, mungkin berkesan pasif? Karena itu, marilah kaum perempuan menulis untuk menjelaskan diri, sebelum dijelaskan oleh lelaki. Berani?

Dimuat di Rubrik Genderang Gender Suara Merdeka 2 Juni 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar