Laman

Jumat, 20 Agustus 2010

Selebritas, Novel, dan Publik

Bandung Mawardi

Negeri ini sedang kikuk dan ekstase gara-gara transaksi politik-uang, aib korupsi, demam film horor, candu musik cinta picisan, atau perayaan seksual “selebritas”. Ekstase ini pantas disinonimkan dengan istilah “seni merayu massa” ala Garin Nugroho (2006). “Seni merayu massa” sedang dioperasionalkan oleh politisi, mafia hukum, selebritas, atau menteri. Mereka menyapa publik melalui internet, televisi, radio, ponsel, koran, tabloid, dan majalah. Semua ingin “menjajakan diri” untuk mendapati pujian dan legitimasi publik demi permainan hasrat dan pamrih. Intensitas merayu kadang bisa memuncak menjadi berkah kendati tak bebas dari mala. Peredaran berita dan adegan seks sekarang susah terbendung gara-gara publik melunaskan penasaran dalam aroma selebritas. Ekstase hari ini mirip dengan satire dari Ignatius Haryanto (2006): “aku selebritas maka aku penting.” Kredo ini plesetan dari percik permenungan Descartes untuk merepresentasikan pemusatan imaji dan aura dalam sosok selebritas. 

Selebritas menjadi lakon puncak ketimbang publik menekuni ulah politisi “meminta” uang atas nama rakyat, kegenitan para mafia hukum, atau keraguan mendapati “aktor” pembasmi korupsi. Hari-hari ini milik selebritas dengan produksi prasangka: skandal seks, pornografi, hukum, kriminal, atau etika jagat maya. Televisi, koran, tabloid, atau website sibuk mencari berita dalam seribu satu versi untuk dijadikan repetisi pada publik agar “memamah” sebagai materi penting. Repetisi ini masuk ke siapa saja dengan embel-embel investigasi, kilas balik, diskusi, atau debat. Nalar dan imajinasi publik ingin diperangkap dalam repetisi demi mengurusi selebritas. Model ini justru melegitimasi selebritas dalam pertarungan citra. Penyelamatan diri dan siksa-karma dalam aktivitas selebritas pun sanggup melenakan acara-cara berita di televisi untuk menaikkan porsi pemberitaan dengan dalih atas nama kepentingan publik. Garapan tentang selebritas di negeri ini masih didominasi dalam acara gosip atau infotainment. Menu tambahan adalah penghadiran selebritas dalam kuis, acara kuliner, obrolan kesehatan, sinetron. atau ajang pencarian bakat. 

Diskursus selebritas memang mengesankan “kehausan” tapi jarang masuk dalam tafsiran dan proyek argumentasi multiperspektif. Selebritas jadi pusat tanpa topangan wacana. Makna kehadiran selebritas rentan karena “paket eksploitasi” dan mengesankan ada karena “puja penonton.” Fanatisme terbentuk oleh godaan parsialitas untuk pengesahan hiburan. Publik memerlukan hiburan sebagai taktik “melupakan” deretan panjang masalah hidup. Konsumsi hiburan menjelma kesibukan prestisius. Novel Garapan kritis tentang jagat selebritas ditampilkan oleh Veven Sp Wardhana dalam novel Stamboel Selebritas (2004). Novel ini diacukan pada dalil: “Kita memang lebih jago membongkar aib selebritas ketimbang menguliti pejabat publik.” Veven memilih bentuk novel untuk menghadirkan jagat selebritas dalam keterpanaan imajinasi dan gosip. Publik dalam “mangsa gosip” mungkin terseret dalam prasangka dan apologi tanpa sadar atas otoritas merumuskan argumentasi. Novel memerlukan waktu, argumentasi, refleksi, dan sangsi. Naluri pembacaan inilah modal mengurusi selebritas secara kritis. Sinis mungkin ada tapi tak sekadar sebagai ocehan amis. Novel tebal ini mungkin prolog dari sastra sebagai kemungkinan penyadaran atas rezim selebritas. Pemakaian judul Stamboel Selebritas sengaja dijadikan proyek kritik untuk “menampar” kemabukan publik terhadap jagat selebritas. Veven menjelaskan: “Barangkali ada benarnya, jika mereka (kaum selebritas) tak ubahnya para nyai zaman silam yang mendengarkan dan mendendangkan dengen sukacita musik stambul utuk menunjukkan bahwa mereka di atas masyarakat inlander. Karena itu, terus terang, meskipun saya coba menyelami dunia batin para selebritas, novel ini jauh dari niatan mengkultuskan mereka....” Stamboel Selebritas tak sekadar “novel” karena si penulis merupakan praktikus media.

Produksi buku-buku tentang budaya massa, televisi, dan gaya hidup garapan Veven menjadi pembuktian mengenai novel sebagai pilihan sadar untuk menelisik sisi luar dan sisi dalam selebritas dalam pikat imajinasi atau “olahan gosip.” Novel mungkin sekadar jadi bacaan untuk segelintir orang ketimbang pilihan publik untuk menikmati lakon selebritas melalui televisi, internet, koran, atau tabloid. Novel ada tapi “miskin umat” karena konsumsi lakon selebritas menepikan literasi. Novel Stamboel Selebritas tak gentar oleh puja publik dalam prosedur menonton. Kondisi ini mirip kodrat “picisan.” Neil Postman pun lantang mengejek bahwa pecandu televisi menginginkan proyek tragis: “menghibur diri sampai mati di depan televisi.” Durasi panjang selebritas di televisi telah menentukan lakon hidup penonton. Gosip perceraian, skandal, pernikahan, atau liburan selebritas mirip “ayat-ayat suci” untuk bisa merasai hidup dalam gelimang dusta dan petaka. Novel mungkin tak pantas sekadar dijadikan “catatan kaki” bagi pecandu televisi. Veven pun tak ingin luluh oleh puja televisi. Novel Stamboel Selebritas justru sanggup mengisahkan karut-marut kehidupan kaum selebritas. Artis, penyanyi, model, atau bintang iklan dalam model “penelanjangan” oleh media massa mungkin melenakan publik. Novel hadir untuk refleksi dan memarodikan lakon hidup dalam buaian narasi-narasi wagu ala selebritas. Novel ini mengingatkan kendati diabaikan oleh “umat televisi.” Selebritas Sastra di negeri ini memang belum intim dengan selebritas. Produksi buku sastra dari kalangan selebritas mungkin sekadar penanda dari “jalan lain” godaan popularitas.

Publik pembaca awam pun lekas terkesima tapi tak memerlukan diri untuk menikmati sastra sebagai prosedur mengenali manusia (selebritas).Penghormatan memang pantas diberikan ketimbang membuang seribu kalimat untuk “menyerbu” ulah selebritas. Kalimat tak mempan dan curiga kerap mental. Kesadaran relasional antara sastra dan selebritas itu kalah tanding dengan geliat publik untuk mengonsumsi aib selebritas. Lakon “persenggamaan hangat” justru menggairahkan publik suntuk memikirkan dengan sekian pamrih: mengecam, membela, prihatin, atau kasihan. Nilai kebenaran jadi kabur kendati televisi secara intensif mengabarkan prosedur menggapai “kebenaran” dalam persaingan sengit untuk mutu jurnalistik atau gosip. Pengaburan itu kentara saat berita tentang “persenggamaan hangat” memasuki ranah berita dan diskusi karena ditautkan dengan hukum, undang-undang, atau etika publik. Selebritas mungkin kerasan tinggal dalam geliat gosip dan “sekarat nalar.” Produksi sastra oleh selebritas hampir jadi menu lekas terlupakan gara-gara produksi gosip dan repetisi merebut perhatian pecandu televisi. Kerja sastra untuk mengungkap lakon selebritas melalui novel pun memerlukan “keajaiban” untuk penyadaran publik. Selebritas memang penting karena diperhatikan dan dieksploitasi? Begitu? 

Seputar Indonesia (25 Juli 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar