Laman

Jumat, 20 Agustus 2010

Pidato

Bandung Mawardi

Sejarah Indonesia adalah deretan panjang pidato dari Suwardi Suryaningrat, Cipto Mangunkusumo, H.O.S Cokroaminoto, Agus Salim, Soekarno, Mohammad Hatta, Tan Malaka, Sutan Takdir Alisjahbana, Aidit, Mohamad Natsir, Chairil Anwar, Soedjatmoko, Mochtar Lubis, Soeharto, Amien Rais, Abdurrahman Wahid, Nurcholis Madjid, Susilo Bambang Yudhoyono, dan lain-lain. Pidato-pidato itu merupakan dokumen sejarah untuk penemuan kisah-kisah lama Indonesia dan impian dalam rajutan kata-politik pemaknaan. Pidato adalah dunia aksara, suara, tubuh, panggung, massa, waktu, dan ruang. Indonesia adalah kumpulan pidato. Soekarno pernah memberi pidato kontroversial saat peringatan Hari Proklamasi 17 Agustus 1959. Pidato ini dinamai Penemuan Kembali Revolusi Kita. Isi pidato ini menentukan nasib dan wajah sejarah. Soekarno membuat membuat uraian memikat tentang perjalanan revolusi: impian, kemacetan, kegagalan, penyelewengan, keimanan, dan kesalahan. Pidato itu menandai kelinglungan politik, ekonomi, pendidikan, dan kultural Indonesia pada model konflik dan dilema. Demokrasi ada dalam batas tipis geliat dan sekarat. Masa itu Indonesia mendapati seruan dari Soekarno untuk menggerakkan revolusi tanpa bimbang dan menciptakan masa depan dalam optimisme. Pidato itu merekam zaman kendati tak persis dengan lakon-lakon miris di Indonesia masa 1950-an. Pidato seolah identik dengan Soekarno. 

Dunia pun mengakui bahwa pidato Soekarno membakar, menggeliat, memikat, dan menyentak. Pidato adalah tanda dari kematangan kerja politik untuk melakukan komunikasi intensif, intim, dan provokatif. Soekarno menorehkan nama untuk membuat Indonesia memiliki martabat dalam produksi pidato dan pembentukan efek multidimensional. Indonesia mungkin lahir karena pidato dan Soekarno jadi ikon fenomenal. Suara Indonesia menggelegar dan membuat para pemimpin dunia takjub saat menonton-menikmati pidato Soekarno di markas PBB (New York) pada 30 September 1960. Soekarno menampilkan diri sebagai “sosok Indonesia”, “melantunkan Indonesia”, “menyuguhkan jagat Indonesia.” Pidato dengan titel Membangun Dunia Kembali jadi milik dan kenangan dunia. Soekarno memberi kata pada dunia: “Imperialisme belum lagi mati. Ya, sedang dalam keadaan sekarat; ya, arus sejarah sedang melanda bentengnyadan menggerogoti fondamen-fondamennya; ya, kemangan kemerdekaan dan nasionalisme sudah pasti. Akan tetapi – dan camkanlah kata saya ini – imperialisme yang sedang sekarat itu berbahaya, sama berbahayanya dengan seekor harimau yang luka di dalam rimba raya tropik.” Para ahli mengakui bahwa pidato Soekarno memiliki derajat literer. 

Soekarno sadar untuk menghidupkan kata. Pidato pun telah jadi tanda kebesaran Soekarno dan Indonesia. Jejak historis itu digantikan oleh Soeharto dengan pidato-pidato tanpa api membara, gairah, ledakan, kejutan, atau pikat. Pidato-pidato Soeharto selama Orde Baru mirip “pembaca tertib.” Hafalan dan improvisasi hampir tak ada dalam diri Soeharto. A Teeuw dalam Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan (1994) mengajukan penilaian-tanya: “Bukankah Presiden Soeharto membacakan pidato dari teks tertulis tanpa menyimpang sepatah kata dari tulisan itu?” Soeharto adalah “pembaca taat.” Kesadaran panggung dan penguasaan massa hampir tak tampak. Segala hal seolah ditanggungkan pada tulisan untuk sekadar dibacakan dengan “santun”, pelan, dan membosankan. Soeharto menjadi ikon tentang pidato Indonesia dalam kelungkrahan dan keangkeran. Bahasa dalam pidato mirip dengan ulah politik menjinakkan dengan “kehalusan.” Indonesia hampir beku dalam pidato-pidato Soeharto selama 32 tahun. Indonesia kehilangan biografi diri karena tidak memiliki sosok dan suara lantang. Pidato malah jadi tamsil dari kemauan kekuasaan untuk membisukan dan menguasai massa dengan tertib dan terpusat. Soeharto tampil dalam pidato mirip raja lawas dalam penghormatan mutlak.

Pidato adalah himpunan sabda untuk meminta keimanan politik secara kolektif. Masa kebekuan dan kekakuan Soeharto membuat Indonesia jadi trauma. Keberakhiran kekuasaan Orde Baru belum bisa melahirkan lagi pidato-pidato fenomenal. Penguasa hari ini malah kerap mendapati julukan suka “curhat” dalam pidato resmi atau improvisasi saat memberi keterangan pada pers. Pudato masih jadi ritual politik tapi kehilangan “api membara.” Pidato tak memiliki acuan dalam biografi diri dalam anutan tradisi kelisanan dan keberaksaraan. Indonesia tampak membisu meski menyuarakan diri. Pidato-pidato di Indonesia hari ini adalah lirih dalam kehampaan kata dan kebangkrutan makna. Sejarah Indonesia adalah sejarah pidato. Sejarah ini mungkin bakal lekas berhenti saat kemalasan melanda Indonesia. Pergumulan dengan kata dan permainan tafsir telah dijinakkan oleh imperatif kekuasaan dan teknologi. Suara diri adalah suara artifisial atas nama negara dan pasar. Pidato pun menjelma catatan kaki. Orang tak memuliakan pidato dan merasa hilang dalam serbuan kata tak bermakna. Zaman pidato telah berakhir dan tergantikan oleh lirih-sentimentil atau nyanyi sunyi Indonesia. Begitu. 

Suara Merdeka (15 Agustus 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar