Laman

Senin, 23 Agustus 2010

KECEREWETAN MENGULAS SASTRA


Oleh Sartika Dian

Judul: Sastra Bergelimang Makna
Penulis: Bandung Mawardi
Penerbit: Jagat Abjad, Solo
Cetakan: April, 2010
Tebal: 176 halaman 

Seringkali kritik sastra tak pernah berkutat pada hal sepele. Tapi, Bandung Mawardi menjawab tantangan untuk berlari jauh-jauh ke dalam imaji karya itu dengan atau tanpa melalui pembatasan. Kritik sastra yang dibicarakan dalam buku kumpulan esai menawan yang berceloteh ria tentang segala makna, baik empirikal maupun referensial, telah ada di depan mata. Senjata kritiknya tentulah dimulai dari perjalanan sosio kultural, religi, modernitas, sakralitas, feminisme, serta hal-hal yang berbau menyengat dalam bidang humaniora.
Karya sastra dibaca untuk merefleksi diri, pembelajaran, dan permenungan. Karya sastra dilihat dari kacamata yang luas, bukan hanya cerminan nalar dan rasio, tapi juga yang bermain-main di bawah sadar. Karya sastra diajukan dalam bentuk yang berbeda dan disebulkan ruh baru ke dalamnya. Bukan melalui keomongkosongan, melainkan rujukan atas makna denotasi dan konotasi yang disajikan penyair atau sastrawan. Buku kumpulan esai ini diwarnai ketegangan pemikiran dan hasil hipotesa pembacaan karya yang mumpuni. Analisa atas kinerja yang luar biasa untuk menghubungkan berjuta penyair dalam satu benang merah yang pada akhirnya membentuk sebuah pola, yakni negasi dan kritik maupun otokritik.
Dari awal hingga paripurna, bahasannya melulu mengenai tematik perpetaan karya sastra yang ditarik ke dalam beberapa kesimpulan yang ringkas, tapi tetap mengena dan tidak membosankan, walau banyak repetisi kata yang seharusnya bisa disubstitusi dengan kata-kata segar lainnya. Setiap tulisan diberikan pengantar yang ditujukan agar  membantu pembaca meraba pola pikir sang penulis untuk tetap mengartikulasi teks demi teks, hingga keterpahaman makna itu saling bertautan dengan intimidasi sikap pribadi dalam memandang, berpikir dan mengonsumsi permasalahan.
Pola yang digunakan Bandung Mawardi tentu saja dapat terbaca, referensial dan konsideratif, sebagai pelengkap serta acuan memperoleh aneka ragam teori serta keterbahasaan yang tebal dan komunikatif. Bahasa khas seorang penulis di media. Konten alusif yang padat dan ceceran sugesti seolah mengonfirmasi intimitas Bandung Mawardi terhadap karya sastra. Warna-warni pemaknaan pun memberikan penjelasan konkrit akan afeksasinya terhadap karya sastra yang terpilih.
Syarikat rumah dalam jagat perpuisian Indonesia modern yang membuka kumpulan esai ini memberikan penerjemahan mendalam terhadap identifikasi strata dan struktur sosio kultural dan dilengkapi dengan proses kreatif kepengarangan terhadap rumah. Rumah adalah pelindung puisi dari hujan dan panas. Rumah adalah deklarasi eksistensialis para penyair. Rumah adalah sumber. Rumah adalah ruang yang melatari jalannya kinerja puisi hingga terlahir. Rumah adalah juga tempat dimana penyair itu memuntahkan ide-idenya dalam karya sastra. Esai “Rumah, Penyair, Puisi” ini diramu dengan cakupan nalar yang membentang untuk memperbudak kritik terhadap modernitas dan perumahan kota. Esai ini juga diberikan penutup yang menggelitik para penyair untuk mencantumkan alamat rumah puisi agar jelas identitas dan eksistensinya. Pentingkah?
Esai lainnya yang cukup menarik adalah esai “Humor Politis dan Humor Tragis.”  Entah puisi-puisi ini mewakili bahan tertawaan bagi seluruh manusia atau tidak, yang jelas humor dalam puisi-puisi yang dicomot Bandung Mawardi menjadi bekal satirikalnya mengenai beberapa penyair yang saling berdebat untuk memperjuangkan idealisme masing-masing. Bandung Mawardi sekali lagi membuat gebrakan dengan membaca para penyair-penyair miring yang terlalu percaya diri. Mengikuti alur pikirnya dan membuat standpoint untuknya sendiri. Dengan kencang ia berteriak pada Joko Pinurbo untuk tidak pelit kata. Hal ini kemungkinan akan membuat bulu kuduk Jokpin meremang. Merasa tertantang dan tergugat.
Esai selanjutnya, adalah esai yang tak kalah apik, mengenai transformasi diri perempuan oleh Oka Rusmini. Esai berjudul “Biografi (Tubuh) Perempuan: Puisi Mengisahkan Ibu” ini telah menguak betapa Bandung Mawardi ternyata mengagumi Oka, seolah memberi asersi yang subversif mengenai tubuh perempuan, dengan jalinan teori feminisme yang sampai sekarang menjadi momok bagi manusia patriarki. Esai ini mengungkap masokisme anak terhadap ibu, juga melanggengkan upaya Oka untuk meneriakkan testimoni diri. Ada juga upaya pelik yang tak canggung mengabaikan realitas. Kemudian mencari-cari sisi dramatisasi lain dalam karya itu. Bandung Mawardi menawarkan konstruksi perempuan lain yang Oka perbincangkan. Ia meneriaki Oka yang seorang ibu dari anak yang bernama Pasha dengan detil dan tidak tergesa-gesa.
Sepertinya, adalah halal bagi esais untuk mencomot sana sini karya yang dianggapnya relevan untuk mencapai afirmasi integritas diri. Esai lainnya, yaitu “Novel Bergelimang Makna”, “Putri Cina: Tanah, Wajah, Darah”, “Risalah Religiositas: Penghiburan dan Pengharapan”, “Puisi Ibu: Pokok dan Tokoh”,   tentu saja masih mengenai pembacaan komprehensif karya sastra yang kompleks dan menggugah manusia sastra untuk menggumamkan makna sastra. Semua esainya dirangkum dalam penutup yang berisi pepujian dan kritik pahit. Barangkali seperti lirik lagu, Bandung Mawardi memberikan ruh baru dengan nada-nada dan irama yang pas. Untuk itu, penyair dan sastrawan hendaknya menghaturkan terimakasih atas kecerewetan Bandung Mawardi  dalam pembacaannya.
Mungkin terlalu cepat menutup tulisan ini, mengingat esai yang termuat sungguh kaya akan pemenuhan ilmu kritik sastra. Hal terakhir yang dapat disampaikan adalah keberanian penerbitan buku Sastra Bergelimang Makna, yang telanjang dari kata pengantar dan kumpulan komentar di sampul dan isi buku. Sepertinya, Bandung Mawardi merasa percaya diri untuk bersuara. Cara ini pantas diapresiasai, sebab penerbitan buku-buku sastra sekarang sering dipenuhi oleh komentar-komentar tidak jelas, meskipun dari tokoh-tokoh terlena, apalagi kata pengantar yang seolah digunakan untuk klaim-klaim yang berlebihan pada si penulis. Selamat membaca buku ini dan memberi kritik atas kritik.

1 komentar:

  1. nambah wawasan, trims bisa mbaca ulasan ini, salam kenal (ijin gabung google fren)

    BalasHapus