Laman

Jumat, 20 Agustus 2010

Etos Nasionalisme

Bandung Mawardi

Nasionalisme mengalami kebangkrutan di Indonesia. Ekspresi nasionalisme sekadar jadi ornamentasi politik-ekonomi. Perdebatan untuk mengoreksi atau menguatkan nasionalisme tidak memikat politisi, akademisi, pengarang, aktivis, atau pengusaha. Nasionalisme lekas jadi ikon nostalgia dari riwayat pergerakan kebangsaan dan efek pembentukan komunitas politik dalam melawan kolonialisme. Pendangkalan tafsir historis ini pun dipaketkan dalam pembelajaran sejarah dan permainan simbol-simbol nasionalisme secara parsial. Nostalgia nasionalisme kerap ciptakan haru karena ritual peringatan hari kemerdekaan. Peristiwa ini bakal menarik publik pada perayaan simbolik atas nama nasionalisme. Imaji atas nasionalisme masa lampau biasa mengacu pada darah, bedil, bambu runcing, bendera, rapat, air mata, atau kelaparan. Tafsiran atas pernik-pernik itu tampil sebagai modal menyemai nasionalisme dengan proses perubahan zaman. Kerja penafsiran jadi macet saat sakralisasi nasionalisme mulai runtuh dengan politisasi segala aspek kehidupan. Pembakuan nasionalisme ini mengesankan sebagai modal persaingan politik dan perebutan klaim untuk ada di tampuk kekuasaan. Parakitri T Simbolon dalam Menjadi Indonesia: Akar-akar Kebangsaan Indonesia (1995) mengingatkan bahwa konstruksi nasionalisme terbentuk dalam waktu lama. Lambaran dari penyadaran nasionalisme memerlukan referensi kultural, politik, ekonomi, sosial, dan agama. Prosedur pembentukan nasionalisme dipengaruhi oleh modal bahasa, spiritual, etnisitas, dan identitas. Simbolon menjelaskan bahwa agenda menjelang nasionalisme pada awal abad XX ditentukan oleh kesatuan ekonomi, kesatuan administrasi politik, dan kesatuan budaya. Pemahaman atas jejak-jejak ini pantas jadi acuan untuk perayaan nasionalisme dengan produktif pada hari ini. 

Nasionalisme itu tidak sekadar kisah, memori, jargon, bendera, pidato, lagu, film, upacara, konser, lomba, atau seragam. Nasionalisme adalah ekspresi produktif dari tafsiran kesejarahan dan kematangan merumuskan masa depan. Etos Pewacanaan nasionalisme memang kurang tampil memikat karena “dihabisi” oleh produksi isu-isu panas politik-ekonomi, afirmasi atas globalisasi, gosip artis, atau kerapuhan sistem pendidikan. Semua itu cenderung mengarah pada pembakuan dan standarisasi untuk sederajat dengan ukuran global tapi abai dengan pengakaran diri atas nama nasionalisme. Labelitas dan ornamentasi justru membuat wacana nasionalisme difungsikan untuk promosi demi penumpukan modal dan kekuasaan. Wacana nasionalisme mengalami surut pada masa agenda-agenda besar di Indonesia kehilangan akar-kultural dan kiblat-pemikiran. Kondisi ini membuat Indonesia rentan dengan kenestapaan karena mengalami kemiskinan etos nasionalisme. Sartono Kartodirdjo (1999) mengingatkan bahwa nasionalisme Indonesia bersumber pada etos. Etos ini terekspresikan dengan kepemilikan mental, pandangan dunia, dan perilaku. Etos nasionalisme pada masa pergerakan kentara memudar pada masa pasca-revolusi. Pemahaman atas nama kepentingan bangsa teralihkan menjadi kepentingan materialistis, hedonistis, konsumeristis, dan permisif. 

Kepudaran ini masih berlangsung sampai hari ini dengan ekpslisitas memerkarakan negara-bangsa dan pasar atas nama trah penguasa, keluarga pemilik modal, dan kuasa rezim korporasi sejagat. Etos sebagai sumber telah terlupakan karena antusiasme memasok modul-modul asing untuk pembangunan politik, ekonomi, pendidikan, atau teknologi. Kesadaran atas biografi kultural dan identitas dalam pluralitas-etnisitas tergantikan oleh standarisasi global. Sistem ini memicu kerapuhan dalam memahami keindonesia atau menjadi manusia Indonesia. Kerapuhan ini tentu susah untuk dilanjutkan dengan pembentukan manusia pasca-Indonesia ala Y B Mangunwijaya karena ketiadaan afirmasi atas nasionalisme. Pendangkalan nasionalisme sebagai ornamentasi malah menjadi penentu dari reduksi keindonesiaan. Kehilangan Nasionalisme sebagai dalil pertama dari rumusan Pancasila ala Soekarno pada 1 Juni 1945 hampir terpinggirkan oleh proyek-proyek politik pragmatis.

Franz Magnis-Suseno (2006) mengartikan dalil nasionalisme itu sebagai proyek penyadaran dan pembebasan. Nasionalisme bagi Soekarno diterjemahkan untuk sadar sebagai manusia Indonesia dan kemauan bebas dari kolonialisme. Nasionalisme adalah ideologi dan etos untuk merayakan Indonesia. Episode itu telah rampung sebagai data sejarah tanpa pembacaan produktif pada hari ini. Nasionalisme memang kerap terpahamkan sebagai ideologi. Pandangan ini justru membuat perayaan identik dengan hasrat politik. Praktik ini memang ikut menentukan geliat nasionalisme pada masa kolonialisme kendati tidak mutlak. Hasrat politik membuat persemaian nasionalisme mandek pada tataran simbolik. Etos dalam kondisi ini jadi keharusan untuk mengembalikan kesadaran asali dan lolos dari dominasi politik. Etos mesti dirayakan dengan naluri kemanusiaan tanpa harus dipaketkan dalam kebijakan politik atau kurikulum pendidikan. Etos bukan komoditi untuk disistemkan dan didiktekan secara sentralistik. Etos pada masa lalu disemaikan karena konsekuensi kehadiran kolonialisme. Etos sebagai dalil resistensi itu signifikan untuk menanggapi deprivasi, diskriminasi, rasialistik, dan segregasi. Etos membuncah untuk memartabatkan manusia sebagai manusia dan kesadaran peran sebagai warga. Pertanyaan Sartono Kartodirdjo pantas jadi refleksi kritis: “Mengapa etos menghilang setelah revolusi selesai?” Pertanyaan ini hampir menjelma sebagai catatan kaki dari kesemrawutan Indonesia. Etos kepimpinan runtuh. Etos kerja rendah. Etos politik amburadul. Etos sosial pudar. Etos kultural bangkrut. Peringatan hari kemerdekaan selama ini identik dengan penambahan angka tahun. Usia menua tidak memberi jaminan ada aksentuasi atas persemaian kualitatif atas nasionalisme. Ritual politik justru mengental untuk menjadikan nasionalisme sebagai modal persaingan kekuasaan. Model ini pun disempurnakan oleh kultur-publik merayakan nasionalisme sebagai kesadaran temporal. Etos nasionalisme memang terbukti menghilang tanpa ada proses mencari-menemukan untuk penafsiran ulang dan pemaknaan produktif pada hari ini. Perayaan kehilangan etos nasionalisme ini adalah ironi untuk pemartabatan Indonesia dan keindonesiaan. Begitu. 

Solopos (18 Agustus 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar