Tak ada yang benar-benar mengenalinya
selain
angin yang masih menyebutnya perempuan.
(Joko Pinurbo, “Penyanyi yang Pulang
Dinihari”, 1991/2007)
Oleh M. Fauzi
Bodoh
1/ mukjizat
DALAM sejarah
manusia, perempuan memiliki mukjizat yang datang dari bumi, bukan dari langit:
dari tulang-belulang yang dibungkus daging, dari
anggitan buas kekuasaan manusia, dari luka yang menggairahkan tragedi, di atas
bumi makhluk manusia. Mukjizat ini tidak menjadikan perempuan
nabi atau rasul, tapi sering menjadi aktor sekaligus korban tragedi dalam
sejarah peradaban manusia. Inilah yang menjadikan perempuan menjadi mukjizat
dalam arti yang sebaliknya: menggugah tapi digugat.
Mukjizat
perempuan itu terus-menerus menemani perjalanan manusia, khususnya perempuan,
dalam mengalami tubuh, mengalami ingatan, mengalami pergolakan, mengalami
kekuasaan, mengalami waktu: mengalami sejarah manusia. Sejarah itu perempuan:
selalu bertumpu pada tubuh dalam luka, yang hendak dikuasai dan menguasai
manusia.
Dan
sastrawan-penyair, sepertinya, adalah yang selalu mendapatkan wahyu untuk
menuliskannya. Atau, paling tidak, orang yang selalu beredekatan,
bersinggungan, dan bersitegang dengan perempuan-perempuan zamannya. Lalu,
mewartakan kepada segenap manusia. Sebagaimana nabi-nabi dan rasul-rasul,
seperti yang dialami Musa di tanah gunung Sinai, seperti yang dialami
Muhammad di gua Hira, dan bahkan seperti seperti manusia-manusia yang beberapa
saat yang lalu menyebut diri nabi-nabi: selalu dirundung protes, penentangan, pertikaian,
peperangan, pengabaian, pengucilan, pengebirian, dan sebagainya, tapi hampir
selalu menggairahkan: membentuk spektrum.
Spektrum mukjizat perempuan yang datang dari bumi itu
selalu menggairahkan sastrawan-penyair untuk mewarnai karya-karya mereka. Ada yang datang membawa
ketakjuban; ada yang datang membawa pentungan agama; ada yang membawa kerajaan
dan negara; ada yang datang membawa simbolisme; ada yang datang membawa gairah;
ada juga yang membawa tawa yang tragis penuh luka; juga ada yang membawa
protes.
Untuk saat ini dan di Indonesia , berdasarkan pengalamanan
dan pengetahuanku yang ceroboh dan bodoh, wahyu kenabian itu datang kepada Joko
Pinurbo (Jokpin). Hampir sepertiga puisi-puisi Jokpin mengenai perempuan,
terutama sebagai tokohnya, yang terhimpun dalam Celana Pacarkecilku di Bawah
Kibaran Sarung yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama, tahun 2007. Jokpin datang membawa nubuwat, kisah, luka,
gairah, kenaifan, melankoli, protes, pengakuan, kesadaran, dan sebagainya, yang
diwartakan-disampaikan dalam bait-bait tubuh perempuan.
2/tubuh
BAGI Jokpin, sepertinya tidak ada kitab suci yang pantas
untuk diwartakan selain kitab tubuh. Dan tubuh, sebagaimana terwahyukan dari
bumi, adalah perempuan, manusia yang paling intens mengalami bertubuh.
Perempuan adalah tubuh; tubuh adalah perempuan, demikian wahyu bumi mengatakan
kepada kita melalui Jokpin.
Tubuh perempuan, dalam puisi-puisi Jokpin, menjadi kisah,
tema, pokok, dan sekaligus, meminjam istilah Ignas Kleden, “tubuh sebagai suatu
alat ucap”. Tubuh perempuan menjadi serangkaian huruf, yang membentuk kata dan
kalimat, untuk menggapai isi dan makna. Pada akhirnya, membentuk
kitab tubuh perempuan.
Siapakah dan apakah tubuh dalam kitab tubuh Jokpin? Aku tidak bisa menjawab dengan pasti.
Tanya saja pada penyairnya sendiri jika Anda ingin jawaban pasti. Tapi aku
menduga, sekali lagi menduga, Jokpin memang mengisahkan kitab tubuh perempuan
sebagai “penjara/makam jiwa” seperti dikatakan Platon, bahwa ada dualisme
tubuh-jiwa, yang membedakan antara yang materi dan ide, dan yang memposisikan
nilai tubuh lebih rendah di bawah ide. Namun, lebih jauh, Jokpin lebih pas
kalau dikatakan mengikuti pemikiran Aristoteles, muridnya Platon, yang menolak
dualisme Platon tersebut. Aristoteles menggambarkan ketakterpisahan antara
tubuh dan jiwa (ide) seperti lilin dan bentuknya lilin (Synnott: 2002, 14-15).
Yang menarik, Jokpin sepertinya lebih banyak menggambarkan
dan bergolak tentang lilin itu sendiri. Ya, tubuh perempuan sebagai lilin yang
bisa membakar diri sendiri, menerangi orang lain, pemicu kebakaran, dan selalu
bermasalah. Tubuh lilin: metafor, pokok, dan makna. Dengan cara ini, Jokpin
bebas memainkan tubuh dalam puisi-puisinya dengan elegan, estetis, tragis, melankolis, dan terkadang naif
yang menantang. Dan dengan cara itu, Jokpin memasuki tubuh tidak hanya sebagai
“bait Roh Kudus” seperti yang dikatakan Santo Paulus (dalam puisi Jokpin tubuh
bahkan bisa tidak kudus), tapi juga memasuki wilayah eksistensialisme tubuh
seperti yang dikatakan Jean Paul Sartre, “Tubuh adalah saya…Saya adalah tubuh”
(Synnott: 2002, 11).
Perempuan yang
termasuk dalam kategori yang pertama bisa kita lihatlah pada puisi Dari
Raden Ajeng Kartini untuk Maria Magdalena Pariyem. Puisi ini dengan baik
menangkap kegelisan, harapan, dan keputusasaan RA Kartini. Juga mampu menangkap
suasana zaman dengan pernik-perniknya seperti kereta api, sawah-sawah,
perempuan-perempuan tangguh, kebaya, batik, pabrik-pabrik gula, dan perahu
layer. Tapi, dalam puisi ini, Jokpin tidak begitu intens menggunakan
kepiawaiannya mengolah tubuh baik sebagai metafor, pokok masalah, atau alat
ucap. Bisa dibilang, Jokpin gagal kalau kita mengaitkan dengan keintimanan dan
kepiawaian Jokpin menggunakan tubuh perempuan. Padahal, kita tahu, kisah kasus
RA Kartini sangat erat kaitannya dengan status dan identitas keperempuanan
(femininitas) RA Kartini yang terkait dengan tubuh.
Berikutnya,
penggambaran tubuh, pergolakan, dan pemberontakan perempuan bisa kita baca
dalam Minggu Pagi di Sebuah Puisi. Puisi ini menggambarkan permasalahan
seorang ibu yang mencari anaknya yang hilang dan Maria Magdalena:
“Ibu hendak
kemana?” Perempuan muda itu menyapa.
“Aku akan
mencari dia di Golgota, yang artinya:
tempat
penculikan,” jawab ibu yang pemberani itu
sambil menunjuk
potret anaknya.
“Ibu, saya
habis bertemu Dia di Jakarta, yang artinya:
surga para perusuh,” kata gadis itu sambil
bersimpuh.
Gadis itu Maria
Magdalena, artinya: yang terperkosa.
Lalu katanya:
“Ia telah menciumku sebelum diseret
ke ruang
eksekusi. Padahal Ia cuma bersaksi
bahwa agama dan
senjata telah menjarah
perempuan lemah
ini.”
Sungguh Ia
telah menciumku dan mencelupkan jariNya
pada genangan dosa di sunyi-senyap
vagina;
pada dinding gua yang retak-retak,
yang lapuk;
pada liang luka, pada ceruk yang
remuk.”
(Joko Pinurbo,
“Minggun Pagi di Sebuah Puisi”, 1998/2007)
Dalam puisi
ini, yang profan dan sakral, yang kudus dan yang kotor, yang lemah dan yang
kuat, memiliki eksistensinya sendiri dalam persentuhan dengan bagian-bagian
tubuh: bibir, jari, dan vagina. Kedua perempuan itu sama-sama kehilangan; yang
satu kehilangan anaknya yang pernah bertemu dengan Magdalena; Magdalena
kehilangan eksistensinya yang telah dijarah oleh agama dan senjata. Jopkpin
menggunakan tokoh-tokoh sejarah dengan membuat puisi-cerita yang memukau,
padat, dan penuh protes kalau tidak mau mengatakan mendekonstruksi pemahaman.
Sayang, saya tidak begitu banyak tahu tentang Magdalena . Yang
aku tahu dia, konon, adalah seorang pelacur. Ada juga yang mengatakan bahwa dia
termasuk santo perempuan pada zaman dahulu ketika perempuan masih memiliki
kekuasaan dalam gereja.
Yang menarik,
pada akhir puisi ini, Jokpin memberikan gebrakan pertanyaan mistis-filosofis,
bukan sekadar salam, “dan dua perempuan/mengucapkan salam: Siapa masih berani
menemani Tuhan?” Ada pemberontakan dan gugatan dalam puisi ini. Penutup puisi
ini menggugat dan memprotes dengan sopan dan satiris. Perempuan dan agama dalam
puisi Jokpin, sangat kental dengan aroma pemberontakan dan perlawanan terhadap
pemahaman yang selama ini menghinggapi benak masyarakat. Selain itu,
penggambaran bagian-bagian tubuh perempuan yang dianggap tabu untuk diucapkan
malah digambarkan dengan muram, sedih, dan tragis, tapi tidak pornografis.
Berikutnya
adalah perempuan-perempuan Jokpin kontemporer. Eksistensi tubuh perempuan menjadi tema reflektif
yang memukau dalam puisi Di Salon Kecantikan. Pergolakan, pertentangan,
keinginanan, hasrat muda, penundaan kekalahan, dan gugatan dalam tanya-tanya
filosofis, masuk ke dalam kehidupan perempuan melalui tarikan tubuh yang
termanifestasikan dalam konsep kecantikan. Kecantikan merasuki kehidupan
perempuan untuk dibawa ke alam cemas, gundah, gelisah, was-was, dan kesadaran
yang kalah dan tak berarti lagi di hadapan hasrat cantik. Eksistensi tubuh
perempuan seakan mau tidak mau harus ditautkan dengan kecantikan: konsep yang
terus-menerus berubah oleh kehendak zaman dan kepastian usia.
Semua itu bisa
kita baca pada penggalan puisi Di Salon Kecantikan: “Mata, kau bukan
lagi bulan binal/yang menyimpan birahi dan misteri”//”Rambut, kau bukan lagi
padang rumput/yang dikagumi para pemburu.”// “Dada, kau bukan lagi pengunungan
indah/yang dijelajahi para pendaki.”
Tentu sudah
banyak yang membahas dan menulis tentang kecantikan. Tapi yang menulis puisi
seintens, sedalam, dan sefilosofis Jokpin dengan menggunakan tubuh, aku belum
menemukan bahkan dari para pemikir feminis. Apalagi yang menggunakan tubuh
sebagai tema pokok dan alat pengucapan, aku belum pernah membacanya. Saat
membacanya, aku bertanya-tanya: apakah Jokpin seorang perempuan? Apakah Jokpin
sedang berada di salon berhari-hari untuk mengamati gejolak hati seorang
perempuan?
Kalau dalam Di
Salon Kecantikan kita membaca kecemasan yang tak terelakan, kita tidak
menemukan kecemasan serupa dalam Gambar Porno di Tembok Kota. Kita
dihadapkan pada perempuan tegar menghadapi kegetiran hidup yang
termanifestasikan dalam tubuh-tubuh penuh luka. Bahkan, perempuan dalam puisi
ini tampak cuek dengan permasalahan yang dihadapinya.
Dalam Gambar
Porno di Tembok Kota (juga dalam Perempuan Jakarta, Di Sebuah
Vagina, dan Perempuan Senja, dan Mei, meski tidak begitu
intens penggunaan tubuhnya) kita
dihadapkan pada bagian-bagian tubuh perempuan dalam suasana muram penderitaan
yang disimpan. Tubuh perempuan ditempatkan dan digambarkan dalam
situasi-kondisi paradoks, antara kegairahan pesona tubuh dengan penderitaan.
Tubuh, dalam puisi ini, menjadi alat ucap yang estetis tragis yang tersimpan
dalam tubuh perempuan.
Tubuhnya kuyup
diguyur hujan.
Rambutnya
awut-awutan dijarah angin malam.
Tapi enak saja ia nongkrong, mengangkang
seperti ingin
memamerkan kecantikan:
wajah
ranum yang merahasiakan derita dunia;
leher langsat yang
menyimpan beribu jeritan;
dada montok yang mengentalkan darah dan nanah;
dan lubang sunyi, di bawah pusar,
yang dirimbuni semak berduri.
…..
“Tapi malam cepat habis juga ya. Apa boleh buat,
mesti kuakhiri
kisah kecil ini saat engkau terkapar
di puncak
risau. Maaf, aku tidak punya banyak waktu
buat bercinta.
Aku mesti lebih jauh lagi mengembara
di papan-papan
iklan. Tragis bukan, jauh-jauh datang
dari Amerika
cuma untuk jadi penghibur
di negeri
orang-orang kesepian?”
“Terima kasih,
gadisku.”
“Peduli amat,
penyairku.”
(Joko Pinurbo, “Gambar Porno di Tembok Kota”, 1996/2007)
Jokpin
mengembangkan konsep metafor tubuh menjadi alam semesta pada Kisah Semalam.
Kita seakan dihadapakan dengan tubuh perempuan selaiknya kita berhadapan dengan
alam. Tapi, kalau nuansa naturalisme bisa membuat kita merasa teduh, damai, dan
tentram, kita malah dihadapkan pada tubuh dengan nuansa yang mengerikan,
seperti saat kita menonton film 2012.
Dan suntuklah
ia bekerja, membangun kembali keindahan
yang dikira bakal cepat sirna:
yang
mulai kumal dan kusam;
langit kusut pada mata yang memancarkan
cahaya redup
kunang-kunang;
hutan pinus yang meranggas pada
rambut
yang mulai pudar
hitamnya;
pada rumput kering pada ketiak
yang kacau baunya;
bukit-bukit keriput pada payudara
yang sedang
susut kenyalnya;
pegunungan tandus pada pingul dan
pantat
yang mulai lunglai goyangnya;
dan lembah duka yang menganga antara
perut
dan paha.
(Joko Pinurbo,
“Kisah Semalam”, 1996/2007)
Perempuan-perempuan
Jokpin berhadapan dengan kehidupan perkotaan seperti Jakarta. Kehidupan mereka
tetap sama dan diceritakan dalam bait-bait tubuh penuh luka. Mereka berhadapan
dengan budaya massa yang memperdayai tubuh-tubuh mereka. ”Memang tampak cantik
ia/ dengan celana merah menyala// senja berduyun-duyun/mengejar petangmengejar
malam// Pada sebuah billboard masih juga ia bertahan/dengan airmata yang
disembunyikan//. Perempuan-perempuan Jokpin tak ubahnya hiasan moral yang di
tembok-tembok kota. Mereka menjadi ornamen kota.Mereka menghadirkan kemeriahan
penuh luka. ”Kota akan kehilangan dia bila ia tidak lagi di sana,” kata Jokpin
pada penutup puisi Perempuan Jakarta.
Tubuh
perempuan, dalam puisi-puisi Jokpin, bukan hanya kulit-daging dan tulang
belulang, yang dirangkai dari bagian-bagiannya. Tubuh perempuan membentuk
semacam spektrum warna kelabu, yang membawa aroma tragis-puitis. Spektrum warna
itu membentang dari atas kepala sampai dengan organ-organ intim.
3/luka
DARI pembacaan saya terhadap puisi-puisi Jokpin, bisa
disimpulkan bahwa perempuan-perempuan Jokpin merupakan cerita-puisi yang kelam, penuh dengan luka di
sekujur tubuhnya. Organ-organ tubuh perempuan terluka sayatan kekuasaan
terutama pada bagian-bagian tubuh yang perlu atau harus menarik, bergairah,
menawan, menggiurkan, dan penuh kontroversi seperti rambut, mata, bibir, wajah,
buah dada, pinggul, vagina dan sebagainya.
Aku bahkan
tidak menemukan satu perempuan pun dengan sedikit suka-cita, bahagia, tanpa
derita dalam kehidupan puisi-puisi Jokpin. Jika pun ada, itu adalah perempuan
yang hendak mengelak dengan cara cuek dan mengekspresikan kelukaannya dengan
kebahagiaan yang perih. Perempuan-perempuan Jokpin adalah perempuan luka pada
sekujur tubuhnya tanpa ampun. Perempuan Jokpin adalah perempuan yang berada
dalam kondisi ″dukamu abadi″.
4/kuasa
SIAPA yang
membubuhkan luka pada sekujur tubuh perempuan, penyairku? Siapa?
Eksplorasi
tubuh perempuan dalam puisi-puisi Jokpin selalu bersinggungan dengan berbagai
kekuatan eksternal tubuh itu sendiri. Di sini, Jokpin memasuki daerah
kekuasaan, apapun itu, dengan membawa tubuh
perempuan untuk bercerita, menjadinya tema, pokok masalah, dan terkadang menantang pemahaman
dan perlakuan kejam terhadap tubuh perempuan.
Kebanyakan
kisah, tema, pokok, dan alat ucap tubuh Jokpin adalah perempuan (luka).
Kesadaran tubuh perempuan Jokpin ini memang tidak lepas dari pergolakan tubuh
(perempuan) dalam sejarah manusia. Tubuh perempuan selalu menjadi masalah,
pergolakan, permainan, pelecehan, pelarangan, perebutan, dan sebagainya atas
nama kuasa-kuasa pemikiran filosofis, wahyu-wahyu agama, kerajaan-pemerintah,
norma-norma tradisional, dan bahkan korporasi yang sekarang banyak menemani
kehidupan perempuan.
Tubuh bagi Jokpin adalah “mayat//yang saya pinjam//dari
seorang korban tak dikenal// dan tergeletak di pinggir jalan” (“Tubuh Pinjaman”
1999/2007). Puisi ini memang agak aneh jika menempatkan tubuh sebagai korban
yang tidak dikenal. Padahal, kalau
kita membaca puisi-puisi Jokpin, kita akan melihat dengan jelas, korban itu
adalah tubuh perempuan. Tubuh perempuan adalah korban, yang sudah menjadi mayat
yang dipinjam. Dengan kata lain, tubuh yang tidak bisa lagi dikuasai oleh
penggunanya, perempuan. Sekadar pemakai.
Meski demikian,
anehnya, akan selalu ada “petugas yang menanyakan status,//ideologi, agama, dan
terutama harta kekayaan//.” Petugas itu bisa keluarga, negara, agamawan,
politikus, media massa, atau bahkan pacar dan teman kita.
Aneh memang, adakah tubuh berstatus, berideologi,
beragama? Pada bagian mana tubuh itu beragama dan berideologi? Bagaimana
tulang-belulang dengan segumplan daging dengan aneka warna dan coraknya bisa
memiliki semua itu? Bukankah status,
ideologi, dan agama, merupakan sebentuk non-materi, bagaimana cara memungkinkan
semua itu melekat pada tubuh yang materi?
“Sudah kurambah
seluruh// kilometer tubuhmu
sampai ke gua-guanya yang paling dalam
dan tebing-tebingnya yang paling curam
dan hanya
labirin yang kutemukan.”
(Joko Pinurbo,
“Perburuan”, 1999/2007)
Kalau melihat
secara kronologis, petikan dua larik puisi ini mewakili puisi-puisi Jokpin yang
paling terbaru sedangkan yang menggambarkan pergolakan tubuh perempuan
kebanyakan ditulis pada tahun 1991 sampai tahun 1999. Itu artinya dalam
permenungan Jokpin tentang tubuh perempuan ternyata hanya menemukan labirin. Jokpin mendapati jawaban jalan tak ada
ujung tentang kuasa terhadap tubuh perempaun. Labirin, menurut
pengamatanku terhadap puisi-puisi Jokpin, mengandaikan perjalanan derita dan
luka yang tidak pernah selesai. Sepanjang perempuan memiliki tubuh, sepanjang
itu pula, sepertinya, jalan tak ada ujung yang harus ditempuh dalam derita dan
luka.
Akan selalu ada kuasa pada tubuh-tubuh perempuan. Dan
tubuh itu, memang, satu-satunya yang bisa didera, dipenjara, dibuat derita, dan
dikuasai. Dalam puisi Jokpin, itu tidak sepenuhnya terpenuhi, bahkan setelah
orang-orang menyerukan revolusi dan revolusi beberapa kali melanda dunia.
Perempuan-perempuan Jokpin masih berada dalam kondisi setengah bebas dan
setengah menderita. “Tingallah airmata yang menetes pelan/ ke dalam segelas bir
yang menempel pada dada/ yang setengah terbuka, setengah merdeka.”// (Joko
Pinurbo, “Perempuan Pulang Pagi”, 1997/2007).
Terakhir, beruntunglah, Jokpin mulai mengurangi penulisan
puisi tentang perempuan pada tahun-tahun belakangan, sejak tahun 2000-an. Aku
berharap, tubuh-tubuh perempuan Jokpin mulai sembuh. Sehingga mereka bisa
menjadi perempuan tanpa luka-derita, sehingga penggalan puisi ini tidak akan
pernah kita temukan lagi: “Tak ada yang benar-benar mengenalinya/selain angin yang masih menyebutnya perempuan//.
[]
(dimuat di
Litera edisi Juli-September 2010)
Surakarta, 13 Maret 2010
M. Fauzi, yang lahir di Madura,
masih berstatus mahasiswa sastra
Inggris UNS,
tapi hampir tidak pernah membaca buku sastra
apalagi yang berbahasa Inggris,
dan tidak mengambil kajian sastra atau linguistik.
Dia mengambil Kajian Amerika (American Studies).
Lebih suka menulis catatan tentang dirinya dan teman-temannya.
Tulisan esai ini sekadar kecelakaan.
Email: fauzi_sukri@yahoo.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar